JANGAN LUPA GUNAKAN COPAS

Langsung saja

Jumat, 17 Agustus 2012

SKRIPSI METODE PENELITIAN HUKUM


BAB 1
            PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang penelitian

Dewasa ini transportasi merupakan sarana yanng sangat penting dan strategis dalam mempelancar roda perekonomian, mobilitas orang dan barang dari suatu tempat ketempat yang lain, merupakan persatuan dan kesatuan serta mempengaruhi semua aspek kehidupan bangsa dan negara. Bahwa untuk meningkatkan pembinaan dan penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan sesuai dengan perkembangan kehidupan rakyat dan bangsa indonesia serta agar lebih berhasil guna dan berdaya guna maka pemerintah menetapkan ketentuan mengenai lalu lintas dan angkutan jalan dalam undang-undang 14 tahun 1992 berserta peraturan pelaksanaannya.

                         Dalam Bab 11 pasal 2 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 dijelaskan bahwa transportasi nasional diselenggarakan berdasarkan asas manfaat, usaha bersama dan kekeluargaan, adil dan merata, keseimbangan, kepentingan umum, keterpaduan, kesadaran hukum dan percaya pada diri sendiri.

                         Pentingnya transportasi tersebut tercermin pada semangkin meningkatnya kebutuhan akan jasa angkutan bagi mobilitas orang serta barang dari dan keseluruh pelosok tanah air, bahkan dari dan keluar negeri.

                         Selanjutnya didalam pasal 3 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 dijelaskan bahwa transportasi jalan, diselenggarakan dengan tujuan untuk mewujudkan lalu lintas dan angkutan jalan dengan selamat, aman, cepat, lancar, tertib dan teratur, nyaman dan efisien, mampu memadukan kepada transportasi lainnya, menjangkau seluruh pelosok wilayah daratan, untuk menunjang pemerataan, pertumbuhan dan stabilitas sebagai pendorong, penggerak dan penunjang pembangunan nasional dengan biaya terjangkau oleh daya beli masyarakat.

                         Untuk dapat terlaksananya transportasi tersebut dengan aman dan nyaman, disamping tergantung pada faktor sarana dan prasarana yang mendukungnya, juga sangat tergantung pada faktor kesadaran dan ketaatan hukum anggota masyarakat pengguna sarana dan prasarana transportasi tersebut.

                         Salah satu wujud kesadaran dan ketaatan hukum masyarakat adalah kesadaran didalam berlalu lintas dijalan, karena keamanan, ketertiban dan kelancaran (kamtibcar) lalu lintas dapat mencerminkan tingkat disiplin berlalu lintas. Bahkan ketertiban belalu lintas juga dianggap dapat mencerminkan budaya bangsa.

                         Anggapan ini kiranya cukup beralasan, sebab didalam masyarakat yang lalu lintasnya aman, tertib dan lancar dapat dipastikan bahwa pengaturan sistem lalu lintasnya ditempat itu sudah baik dan warga masyarakatnya sudah mentaati aturan-aturan lalu lintas yang berlaku, maka dapat diduga bahwa pengaturan lalu lintas ditempat itu masih belum baik, dan warga masyarakat banyak yang tidak mematuhi atau mentaati aturan hukum yang berlaku.

                         Dilihat dari aspek pembinaannya, antara keamanan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas, disipliin nasional dan kesadaran hukum memang sangat jelas berkaitan. Pembinaan keamanan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas yang pada dasarnya berintikan pada pembinaan, ketaatan dan kepatuhan masyarakat terhadap aturan lalu lintas, secara jelas merupakan sub sistem dari pembinaan disiplin nasional yang arahnya tidak lain adalah juga terwujudnya ketaatan dan kepatuhan segenap warga Negara termasuk pengemudi kendaraan umum untuk orang terhadap segala aturan yang berlaku di Negara Indonesia.

                         Masalah lalu lintas angkutan jalan semakin banyak mendapat perhatian baik dari pemerintah maupun masyarakat pemakai jalan dan pemakai sarana angkutan umum, karena meningkatnya baik di perkotaan maupun di perdesaan serta akibat yang ditimbulkan berupa gangguan terhadap kamtibcar lalu-lintas.

                         Pelanggaran dan kecelakaan lalu lintas dijalan dapat disebabkan karena berbagai faktor yang saling mengkait, seperti : Pertambahan jumlah penduduk, pertambahan jumlah kendaraan bermotor yang sangat pesat, sarana dan prasarana jalan yang belum mampu mengimbangi banyaknya kendaraan bermotor, jumlah rambu-rambu dan marka jalan yang belum memadai, pelataran areal parkir yang sangat terbatas, penguasaaan sifat dan karakteristik kendaraan bermotor belum memadai, penghargaan terhadap jiwa dan nyawa masih rendah, serta tingkat disiplin lalu lintas dan kesadaran hukum pemakai jalan masih rendah.

                         Tetapi sesungguhnya pelanggaran kecelakaan dan kemacetan lalu lintas dijalan akibat keterbatasan sarana jalan, rambu-rambu lalu lintas, marka jalan dan tempat parkir, masih bisa diatasi jika pemakai jalan disiplin dan mematuhi ketentuan dan mengindahkan sopan santun berlalu lintas dijalan. Namun justru inilah letak permasalahannya, banyak pemakai jalan kurang disiplin, tidak mematuhi ketentuan dan sopan santun berlalu lintas dijalan. Halini tercermin dari sikap dan perilaku dalam mengemudikan kendaraan yaitu seperti kecepatan tinggi, zig zag, melanggar rambu-rambu lalu lintas dan marka jalan serta lampu pengatur lalu lintas, saling mendahului pada saat dan tempat yang tidak tempat, berhenti disembarang tempat, menaikan dan menurunkan penumpang disembarang tempat tidak pada tempat yang tepat, tata cara membelok dan sebagainya. Hal tersebut tidak terkecuali terjadi diwilayah hukum kepolisian kota besar pontianak.

                         Berdasarkan para penelitian yang penulis lakukan bahwa salah satu pengguna jalan yang potensial bagi terjadinya pelanggaran, kemacetan dan kecelakaan lalu lintas dijalan adalah pengemudi kendaraan umum untuk orang. Berdasarkan data yang ada di Sat Lantas Pontianak tiga tahun terakhir yaitu tahun 2004 sebanyak 162, tahun 2005 sebanyak 231, tahun 2006 sebanyak 353 orang pengemudi kendaraan umum untuk orang melakukan pelanggaran. Hal ini menunjukan kecenderungan adanya kenaikan pelanggaran lalu lintas khususnya yang dilakukan oleh pengemudi kendaraan umum Kota Pontianak.
                         Dari uraian tersebut diatas, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian terhadap masalah kesadaran hukum berlalu lintas pengemudi angkutan umum dan menuangkan dalam skripsi dengan judul : “ TINGKAT KESADARAN HUKUM BERLALU LINTAS DAN PENGARUHNYA TERHADAP KETERTIBAN DAN KECELAKAAN LALU LINTAS

B.   Masalah Penelitian

Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka yang menjadi pokok permasalahan dari penelitian ini adalah : Bagai manakah pengaruh tingkat kesadaran hukum berlalu lintas pengemudi kendaraan umum terhadap ketertiban dan kecelakaan lalu lintas di kota pontianak.

C.   Tujuan Dan Manfaat Penelitian

1.    Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah :
a.    Untuk mendapat data dan informasi tentang tingkat kesadaran hukum berlalu lintas pengemudi kendaraan umum untuk orang dan pengaruhnya terhadap ketertiban dan kecelakaan berlalu lintas Dikota Pontianak.
b.    Untuk memaparkan faktor-faktor penyebab yang mempengaruhi tingkat kesadaran hukum berlalu lintas pengemudi kendaraan umum untuk orang Dikota Pontianak.
c.    Untuk memaparkan upaya-upaya yang dapat dilakukan oleh aparat penegak hukum (Kepolisian) dan instansi terkait dalam rangka meningkatkan kesadaran hukum pengemudi kendaraan umum untuk orang Dikota Pontianak.

2.    Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut :
a.    Secara Teoritis
Hasil penelitian ini duharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam pengembangan ilmu hukum, khususnya yang berkaitan dengan sosiologi hukum.
b.    Secara Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pihak-pihak yang terkait didalamnya khususnya bagi para pengemudi kendaraan umum, pemilik atau pengusaha angkutan umum, ORGANDA dan kepolisian khususnya Satuan Lalu Lintas Pontianak.

D.   Kerangka Teoritik

Apabila kita mengamati kehidupan bersama dari manusia dalam masyarakat, maka akan dijumpai masyarakat itu dalam keadaan tertib dan teratur. Memang kadang-kadang terjadi kekacauan atau ketegangan dalam masyarakat, akan tetapi kekacauan atau ketegangan itu senantiasa akan pulih kembali menjadi tertib dan teratur.
Menurut Ronny Hanitijo Soemitro dalam bukunya pemasalahan hukum didalam masyarakat, mengatakan bahwa dalam suatu proses sosial terjadi kegiatan hubungan antara individu, atau individu dengan kelompok, atau kelompok dengan kelompok dapat terjadi empat kemungkinan yaitu :
a.    Koorporasi atau kerja sama, yaitu dimana didalam hubunganantar individu dalam pergaulan hidup terjalin kerjasama yang baik, sehingga segala sesuatu berlangsung secara harmonis, serasi dan tidak ada ketegangan-ketegangan yang terjadi.
b.    Kompetisi atau persaingan, yaitu dimana antara urusan dalam pergaulan hidup, antar kekuatan satu dengan yang lain sudah mulai dari perasaan saling ingin mengungguli, apabila halini berlangsung secara sehat yaitu bersaing demi kemajuan maka tidak akan terjadi suatu ketegangn, sebaliknya jika persaingan semangkin meruncing maka dapat menimbulkan akibat yang negatif.
c.    Konflik atau pertikaian, yaitu dimana dalam masyarakat terjadi pertentangan antara kekuatan sosial tertentu dengan yang lain sampai menimbulkan ketegangan-ketegangan sosial.
d.    Akomodasi atau terjadinya penyelesaian kembali sehingga keadaan tegang akan menjadi reda karena penanganan oleh unsur-unsur dalam pergaulan hidup, sehingga keadaan masyarakat akan tertib kembali seperti semula, yakni terjadinya kerjasama antar unsur kekuatan dalam masyarakat.

Dari proses yang terjadi ini nampak bahwa dalam suatu masyarakat terdapat suatu kekuatan yang berperan dalam masyarakat yang senantiasa menjamin ketertiban, agar tidak terjadi tidak saling merugikan, maka diadakan ketentuan atau aturan yang mewajibkan setiap anggotanya bertingkah laku sedemikian rupa, sehingga tidak merugikan kepentingan individu atau kelompok lain.
Peraturan-peraturan atau ketentuan-ketentuan itu harus dipatuhi oleh seluruh anggota masyarakat, karena peraturan-peraturan hukum dibuat adalah untuk dipatuhi dan bukan untuk dilanggar, oleh karena peraturan-peraturan hukum tersebut dibuat dengan tujuan untuk memecahkan problem-problem yang terjadi dan bukan untuk menambah sejumlah problem yanng sudah ada dimasyarakat. Masalah kepatuhan terhadap hukum dari anggota masyarakat tidak bisa dipahami hanya dengan pendekatan yuridis formal saja, oleh karena foktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan terhadap hukum terletak pada berbagai bidang yaitu : Bidang kemasyarakatan, filsafat, kewajiban, perilaku, penegakan hukum dan lain-lain.
Saat ini memang sudah ada peraturan-peraturan hukum dibidang lalu lintas yaitu Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 berserta peraturan pelaksanaannya, namun kurang dipatuhi oleh para pemakai jalan.
Menurut Leopol pospisil dalam bukunya Anthropologi Of Law, masalah kepatuhan terhadap hukum dapat dikembangkan pada faktor-faktor sebagai berikut :
a.    Persetujuan : yaitu penerimaan secara terbuka yang disebabkan karena adanya penghargaan akan memperoleh imbalan dan sebagai suatu usaha untuk menghindari kemungkinan hukum dari suatu keputusan hukum sebagai mana yang diharapkan oleh suatu peraturan yang memaksa.
b.    Identifikasi : yaitu penerimaan suatu peraturan disebabkan bukan karena nilai intrisiknya dan daya tariknya, akan tetapi karena keinginan orang untuk mempertahankan keanggotaan dalam suatu kelompok atau mempertahankan hubungan dengan tokoh-tokoh tertentu. Sumber kekuatannya adalah daya tarik dari hubungan yang dinikmati orang-orang atau persesuaian dengan peraturan akan tergantung pada menonjolnya hubungan ini.
c.    Internalisasi : yaitu penerimaan seseorang suatu peraturan atau tingkah laku karena ia berpendapat bahwa isinya secara intrisik memberikan imbalan. Isi ini sesuai dengan nilai-nilai orang itu dan kerena disesuaikan dengan hal-hal yang tidak bersifat jahat.
d.    Kepentingan-kepentingan para anggota masyarakat terjamin oleh wadah hukum yang ada.

Keempat foktor ini dapat berdiri sendiri atau dapat pula merupakkan gabungan dari berbagai macam faktor tersebut. Dengan demikian ada anggota-anggota masyarakat yang patuh pada hukum karena kepentingan-kepentingan mereka terjamin oleh hukum karena takut pada sanksinya, apabila peraturan hukum tadi dilanggar. Ada keadaan dimana individu melanggar peraturan karena bertindak menurut perasaan yang timbul pada ketika itu juga, ia secara sadar berkompromi dengan suatu larangan moral demi suatu imbalan yang cukup besar yang diperoleh secara langsung.

Bahwa kepatuhan hukum senantiasa tergantung pada kesadaran hukum kalau dia tidak memahami hukum tersebut, lagi pula kesungguhan untuk memahami hukum secara logis diikuti kemampuan untuk menilainya. Disinilah letak hubungan antara kesadaran hukum dengan kepatuhan hukum, terlepas dari adil tidaknya hukum tersebut.

Menurut Soerjono soekanto bahwa setiap manusia yang normal mempunyai kesadaran hukum. Masalahnya adalah taraf kesadaran hukum tersebut, yakni ada yang tinggi, sedang dan rendah. Tolak ukur taraf-taraf kesadaran hukum itu adalah sebagai berikut :
1.    Pengetahuan mengenai hukum.
2.    Pemahaman terhadap hukum.
3.    Sikap terhadap hukum.
4.    Perilaku hukum.

Seorang dianggap mempunyai taraf kesadaran hukum yang tinggi apabila perilaku nyatanya sesuai dengan hukum yang berlaku. Dengan demikian, maka taraf kesadaran hukum yang tinggi didasarkan pada kepatuhan hukum, yang menunjukan sampai sejauh manakah perilaku nyata seseorang serasi dengan hukum tidak mungkin dipisahkan dari kepatuhan hukum. Akan tetapi tidak setiap yang mematuhi hukum pasti mempunyai kesadaran hukum yang tinggi. Hal ini disebabkan, oleh karena faktor-faktor penyebab terjadinya kepatuhan hukum harus pula dipertimbangkan. Ada lima faktor yang menyebabkan orang mematuhi hukum berkisar pada hal-hal sebagai berikut :
a.    Rasa takut pada sanksi yang akan dijatuhkan apabila hukum dilanggar.
b.    Untuk memelihara hubungan baik dengan pengusaha.
c.    Untuk memelihara hubungan baik dengan rekan-rekan sekelompok.
d.    Oleh karena kepentingan pribadi terjamin oleh hukum.
e.    Oleh karena hukum sesuai dengan nilai-nilai yang dianut, terutama nilai-nilai ketertiban dan ketentraman.

Derajat kepatuhan hukum tertinggi adalah apabila ketaatan itu timbul, oleh karena hukum berlaku adalah sesuai dengan nilai-nilai yang dianut. Disinilah letak hubungan antara taraf kesadaran hukum yang tinggi dengan kepatuhan hukum.

Apabila seseorang mematuhi hukum hanya karena ada sanksinya, maka salah satu akibatnya adalah bahwa penegakan hukum tersebut senantiasa harus diawasi. Apabila tidak ada pengawasan, maka di anggap tidak ada hukum. Gejalah inilah yang tampaknya berlaku bagi kehidupan berlalu lintas di indonesia pada umumnya, dengan demikian maka akan timbul suatu pertanyaan, apakah peraturan lalu lintas belum efektif, sehingga masih terjadi gejala tersebut.

Hukum yang efektif antara lain dapat diukur dari derajat kepatuhan warga masyarakat yang kepentingan nya diatur oleh hukum. Misalnya efektifitas perundang-undangan lalu lintas akan dapat diukur derajat kepatuhan hukum para pemakai jalan, kalau hukum efektif, maka hal itu berarti bahwa penegakan hukum dilakukan secara adil. Dengan demikian terdapat kaitanlangsung antara efektifitas hukum dengan penegakan hukum, maka efektifitas hukum tergantung penegakan hukum yang adil atau tidak. Akan tetapi proses penegakan hukum yang adil berarti adanya keserasian anara nilai-nilai hukum, kaidah-kaidah hukum dan prilaku nyata warga masyarakat, kecocokan antara ketiga hal ini merupakan ukuran keadillan proses penegakan hukum.

Menurut soerjono soekanto, menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi proses penegakan hukum adalah sebagai berikut :
a.    Hukumnya sendiri.
b.    Mentalitas atau kepribadian penegakan hukum.
c.    Fasilitas atau sarana pendukung.
d.    Masyarakat dan kebudayaan.

Untuk jelasnya, maka ada baiknya untuk meninjau faktor tersebut satu persatu yaitu :
Pembicaraan tentang kaedah hukum atau peraturan akan dibatasi pada peraturan tertulis dibidang lalu lintas yang merupakan perundang-undangan yang resmi. Masalah-masalah umumnya disini antara lain :
a.    Apakah peraturan yang ada dibidang lalu lintas mengenai budang-bidang kehidupan tertentu cukup sistematis.
b.    Apakah peraturan dibidang lalu lintas mengenai bidang-bidang kehidupan tertentu cukup sinkron, artinya apakah secara hirarki tidak ada pertentangan serta apakah secara horizontal tidak ada pertentangan.
c.    Apakah secara kuantitatif dan kualitatif peraturan dibidang lalu lintas mengatur bidang-bidang kehidupan tertentu sudah cukup.
d.    Apakah penerbitan peraturan dibidang lalu lintas sesuai dengan persyaratan yuridis yang ada.

Masalah-masalah tersebut memerlukan penelitian yang mandalam. Penegakan hukum menyangkut petugas-petugas pada strata atas, menengah dan bawah. Bahwa aparat penegak hukumdalam melaksanakan tugasnya harus mempunyai suatu pedoman, antara lain mencakup peraturan tertulis tentang ruang lingkup tugasnya. Dalam hal penegakan hukum dibidang lalu lintas, para petugas menghadapi masalah-masalah sebagai berikut :

a.    Sampai sejauh manakah petugas terkait oleh peraturan-peraturan lalu lintas.
b.    Sampai batas-batas manakah petugas di perkenankan memberikan kebijaksanaan.
c.    Teladan yang bagaimanakah yang sebaiknya diberikan oleh petugas kepada masyarakat.
d.    Sampai sejauh manakah derajat sinkronisasi penugasan-penugasan yang diberikan kepada para petugas sehingga memberikan batas-batas yang tegas pada wewenangnya.

Bahwa foktor petugas mempunyai peranan penting dalam berfungsinya hukum dibidang lalu lintas, kalau peraturan baik, akan tetapi kualitas petugasnya kurang baik, maka akan ada masalah. Demikian pula apa bila peraturannya buruk sedangkan kualitas petugasnya baik, maka mungkin pula timbul masalah.

Berbicara tentang fasilitas dibidang lalu lintas yang dapat digunakan oleh polisi lalu lintas dapat dirumuskan sabagai sarana untuk mencapai tujuan,seperti kendaraan, alat komunikasi serta pemiliharaannya. Sering terjadi, bahwa suatu peraturan sudah diberlakukan padahal fasilitasnya belum tersedia lengkap. Ada baiknya bahwa pada waktu akan menetapkan suatu peraturan secara resmi atau pun memberikan tugas kepeda petugas dipikirkan mengenai fasilitas-fasilitas yang berpatokan pada hal-hal sebagai berikut :

a.    Apa yang sudah ada, dipelihara terus agar setiap saat berfungsi.
b.    Apa yang belum ada, perlu diadakan dengan perhitungan jangka waktu pengadaannya.
c.    Apa yang perlu dilengkapi.
d.    Apa yang rusak, di perbaiki atau diganti.

Dan berbicara mengenai warga masyarakat, maka halini sedikit banyaknya menyangkut masalah derajat kepatuhan masyarakat terhadap hukum yang merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum dibidang lalu lintas. Artinya bila derajat kepatuhan masyarakat terhadap peraturan lalu lintas adalah tinggi maka peraturan-peraturan lalu lintas bisa dikatakan berfungsi, namun tidak sesederhana ini, karena banyak faktor yang mempengaruhi, tetapi sebenarnya hal-hal yang menyangkut kesadaran hukum masyarakat, berkisar pada :

a.    Penyuruhan hukum yang teratur.
b.    Pemberian teladan yang baik dari petugas dalam hal kepatuhan terhadap hukum dan respek terhadap hukum.
c.    Pelembagaan yang terencana dan terarah.

Dari uraian tersebut di atas, jelaslah bahwa tidak mudah untuk berbicara mengenai berfungsinya suatu hukum, misalnya peraturan dibidang lalu lintas, karena harus meninjau keempat faktor diatas yang berkaitan erat satu dengan lainnya.

Masalah lalu lintas adalah merupakan masalah yang komplek, karena berkaitan ddengan kebijakan politik khususnya kebijakan didalam penentuan hukum dan aturan yang di berlakukan, kebijakan dibidang ekonomi antara lain yang berhubungan dengan masalah industri otomotif, rekayasa jalan dan sarananya dan yang tidak boleh diabaikan adalah yang berkaitan dengan rekayasa budaya bangsa dalam rangka menumbuhkan kedisiplinan dan kesadaran hukum berlalu lintas segenap warga masyarakat didalam mematuhi dan menegakan segala aturan yang berlaku dinegara indonesia.

Sistem lalu lintas jalan merupakan suatu interaksi antara prasarana jalan, kendaraan dan manusia yang dikendalikan oleh undang-undang dan peraturan-peraturan pelaksanaannya serta ditegaskan melalui penegakan hukum lalu lintas. Dengan demikian, dalam rangka menanggulangi masalah lalu lintas maka pengelolahan ketiga komponen sistem lalu lintas tersebut harus seimbang.

Untuk mewujudkan kondisi lalu lintas yang aman, tertib dan lancar sebagaimana yang digariskan dalam undang-undang No.14 tahun 1992 dan peraturan pelaksanaannya, diperlukan suatu upaya penanggulangan yang konsepsional, terpadu dan berkesinambungan yang harus dilaksanakan oleh pemerintah, swasta dan seluruh lapisan masyarakat. Upaya penanggulangan yang konsepsional, terpadu dan kesinambungan antara lain sebagai berikut :

a.    Keterpaduan didalam penanggulangan masalah lalu lintas yang melibatkan unsur pemerintah, swasta dan seluruh lapisan masyarakat.
b.    Pembinaan pengemudi yang dapat mewujudkan pengemudi berkualitas.
c.    Dukungan sistem informasinpengemudi yang baik.
d.    Penegakan hukum yang efektif.
e.    Sistem manajemen angkutan umum yang baik.
f.     Kondisi jalan dan kelengkapannya yang mendukung kamtibcar lalu lintas.
g.    Kondisi kendaraan yang mendukung keselamatan lalu lintas.
h.    Peran aktif masyarakat dalam mewujudkan kamtibcar lalu lintas.

Dengan pertimbangan bahwa faktor pengemudi mempunyai peran yang cukup penting dalam masalah keamanan, ketertiban dan kelancarann lalu lintas, maka dari berbagai saran tersebut diatas, salah satu saran yang perlu di prioritaskan adalah pembinaan yang dapat dilaksanakan melalui pendidikan dan latihan mengemudi.

Pada dasarnya untuk mencegah pelanggaran dan kecelakaan lalu lintas yang timbul akibat faktor pengemudi adalah selain mempersiapkan setiap pengemudi untuk memiliki pengetahuan dan keterlampilan berlalu lintas juga penegakan hukum yang efektif, perbaikan kondisi kesejahteraan pengemudi, penyedian sarana dan prasarana lalu lintas yang mendukung keamanan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas serta upaya-upaya lainnya.

Jadi untuk mewujudkan disiplin dan kesadaran hukum berlalu lintas pengemudi angkutan umum di kota pontianak dapat dibentuk melalui proses sosialisasi, pengawasan sosial dan pemberian contoh dan kesadaran hukum dari aparat penegak hukum.

Sebagai mana telah dikemukakan dimuka, bahwa judul penulisan ini adalah tingkat kesadaran hukum berlalu lintas dan pengaruhnya terhadap ketertiban dan kecelakaan lalu lintas (studi  lapangan dikota pontianak). Dengan demikian, maka perlu dijelaskan pengertian disiplin, kesadaran hukum berlalu lintas dan pengemudi kendaraan umum.

Disiplin adalah ketaatan terhadap peraturan dan norma kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang berlaku, yang dilakukan secara sadar dan iklas lahir batin, sehingga timbul rasa malu karena sanksi dan rasa takut terhadap Tuhan Yang Masa Esa.

Kesadaran hukum berarti suatu proses penilaian terhadap hukum yang berlaku atau hukum yang dikehendaki. Dengan demikian kesadaran hukum berlalu lintas dapat dirumuskan sebagai penghayatan pada kegiatan dan peraturan lalu lintas jalan yang menimbulkan kepatuhan secara sukarela terhadap peraturan lalu lintas yang berlaku. kepatuhan semacam ini akan tercermin dalam prilaku dijalan, yakni menuruti dan melaksanakan segala peraturan dan sopan santun berlalu lintas, baik pada waktudiawasi maupun tidak diawasi petugas lalu lintas.

Pengemudi adalah orang yang mengemudikan kendaraan sedangkan kendaraan umum adalah setiap kendaraan bermotor yang disediakan untuk dipergunakan oleh umum dengan dipungut bayaran, dengan demikian maka pengemudi kendaraan umum adalah orang yang mengemudi kendaraan bermotor yang di sediakan untuk dipergunakan oleh umum dengan dipungut bayaran.

Jadi disiplin dan kesadaran hukum berlalu lintas yang diteliti adalah dikalangan pengemudi kendaraan umum untuk orang dalam kota dengan sistem trayek tetap, yang dikota pontianak lebih dikenal dengan istilah opelet dan bus kota.


E.   Hipotesis

Berdasarkan tujuan yang hendak dicapai dan masalah yang akan diteliti, maka dalam penelitian ini dirumuskan suatu hipotesis sebagai langkah dalam pemecahan masalah yang masih perlu dibuktikan kebenarannya. Untuk itu dirumuskan hipotesis dalam penelitian ini sebagai berikut :

“Bahwa tinggi rendahnya kesadaran hukum berlalu lintas pengemudi kendaraan umum untuk orang dikota pontianak berpengaruh terhadap ketertiban dan terjadinya kecelakaan lalu lintas”

F.    Metode Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode Deskriptif Analisis, yaitu, dengan mengambarkan keadaan sebagaimana yang terjadi pada saat penelitian dilakukan hingga mengambil kesimpulan terakhir.

1.    Bentuk penelitian

a.    Penelitian kepustakaan ( Library Research )















  

 DAFTAR PUSTAKA

Ashshofa Burhan, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 1996

Badri.R, Hak Dan Kewajiban Dalam UULAJ, CV, Amin, Surabaya, 1996

Kansil C.C.T, Christine ST, Kansil, Disiplin Berlalu Lintas di jalan Raya,
Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum, Galia Indonesia, 1991
Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum : Perkembangan, Metode dan Pilihan
               Hukum, UMS, Surakarta, 2002
Soesilo R, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Politea, Bogor, 1991
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Rajawali Pers,
Jakarta, 1988
------------, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, 1984
------------, Teori Sosiologi Tentang Perburuhan Sosial, Galia Indonesia, 1990
UULAJ No. 14 Tahun 1992 dan Peraturan Pelaksanaannya, Tahun 1993,
Tineka Cipta,










PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEKERJA YANG DI PHK KARENA MELAKUKAN KESALAHAN BERAT








PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEKERJA
YANG DI PHK KARENA MELAKUKAN KESALAHAN BERAT


                          
              UPB.gif





Nama                   : Herlinus Sunarto. I

Nim             : 09.10.11.3807

Fakultas     : Hukum

Jurusan      : Ilmu Hukum










Bab l
  Pendahuluan

Setiap manusia selalu membutuhkan biaya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Untuk mendapatkan biaya hidup seseorang perlu bekerja. Bekerja dapat dilakukan secara mandiri atau bekerja kepada orang lain. Bekerja kepada orang lain dapat dilakukan dengan bekerja kepada negara  yang selanjutnya disebut sebagai pegawai atau bekerja kepada orang lain (swasta) yang disebut sebagai buruh atau pekerja.
Pengertian pekerja berdasarkan ketentuan pasal 1 angka 3. UU No 13 tahun 2003 adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.. Iman Soepomo menyebutkan bahwa pekerja atau buruh adalah seseorang yang bekerja kepada orang lain dengan mendapatkan upah (Iman Soepomo, 1974, hal. 6). Sedangkan tenaga kerja berdasarkan ketentuan pasal 1  angka 2 UU no. 13 tahun 2003 adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan / atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.
Jumlah tenaga kerja yang tersedia di Indonesia tidak seimbang dengan jumlah lapangan kerja yang tersedia. Jumlah tenaga kerja jauh lebih banyak dari pada jumlah lapangan pekerjaan yang tersedia. Terlebih lagi dari sebagian besar tenaga kerja yang tersedia adalah yang berpendidikan rendah atau tidak berpendidikan sama sekali. Mereka kebanyakan adalah unskillabour, sehingga posisi tawar mereka adalah rendah.
Dalam rangka mengejar pertumbuhan ekonomi, salah satunya melalui industrialisaasi, membawa akibat meletakkan posisi pemilik modal sebagai pelopor dan basis pendukung bagi keberhasilan pembangunan nasional, sebaliknya menempatkan pekerja pada posisi pemancing sektor penarik investasi sehingga nilai pekerja Indonesia lebih rendah daripada nilai pekerja luar negeri (M Zaidun, 1997 : 23). Kebijakan pemerintah di bidang ketenagakerjaan seolah-olah kurang memperhatikan nasib pekerja. Hal ini ditunjang dengan adanya doktrin stabilitas yang semakin memperlemah posisi tawar buruh ( Mansour Fakih, 1997 : 46)
Keadaan ini menimbulkan adanya kecenderungan majikan untuk berbuat sewenang- wenang kepada pekerja / buruhnya. Buruh dipandang sebagai obyek. Buruh dianggap sebagai faktor ektern yang berkedudukan sama dengan pelanggan pemasok atau pelanggan pembeli yang berfungsi menunjang kelangsungan perusahaan dan bukan faktor intern sebagai bagian yang tidak terpisahkan atau sebagai unsur konstitutip yang menjadikan perusahaan (HP Rajagukguk, 2000, hal 3).
Majikan dapat dengan leluasa untuk menekan pekerja / buruhnya untuk bekerja secara maksimal, terkadang melebihi kemampuan kerjanya. Misalnya majikan dapat menetapkan upah hanya maksimal sebanyak upah minimum propinsi yang ada, tanpa melihat masa kerja dari pekerja itu. Seringkali pekerja dengan masa kerja yang lama upahnya hanya selisih sedikit lebih besar dari upah pekerja yang masa kerjanya kurang dari satu tahun. Majikan enggan untuk meningkatkan atau menaikkan upah pekerja.
meskipun terjadi peningkatan hasil produksi dengan dalih bahwa takut diprotes oleh perusahaan – perusahaan lain yang sejenis.
Secara sosiologis kedudukan buruh adalah tidak bebas. Sebagai orang yang tidak mempunyai bekal hidup lain daripada itu, ia terpaksa bekerja pada orang lain. Majikan inilah yang pada dasarnya menentukan syarat-syarat kerja. (HP. Rajagukguk, 2000, hal.6). Mengingat kedudukan pekerja yang lebih rendah daripada majikan maka perlu adanya campur tangan pemerintah untuk memberikan perlindungan hukumnya. Perlindungan hukum menurut Philipus,
Selalu berkaitan dengan kekuasaan. Ada dua kekuasaan yang selalu menjadi perhatian yakni kekuasaan pemerintah dan kekuasaan ekonomi. Dalam hubungan dengan kekuasaan pemerintah, permasalahan perlindungan hukum bagi rakyat (yang diperintah), terhadap pemerintah (yang memerintah). Dalam hubungan dengan kekuasaan ekonomi, permasalahan perlindungan hukum adalah perlindungan bagi silemah (ekonomi) terhadap si kuat (ekonomi), misalnya perlindungan bagi pekerja terhadap pengusaha. ( Philipus M. Hadjon, 1994, hal. 4)
Perlindungan  hukum bagi buruh sangat diperlukan mengingat kedudukannya yang lemah. Disebutkan oleh Zainal Asikin, yaitu :
Perlindungan hukum dari kekuasaan majikan terlaksana apabila peraturan perundang-undangan dalam bidang perburuhan yang mengharuskan atau memaksa majikan bertindak seperti dalam perundang-undangan tersebut benar-benar dilaksanakan semua pihak karena keberlakuan hukum tidak dapat diukur secara yuridis saja, tetapi diukur secara sosiologis dan filosofis . (Zainal Asikin, 1993, hal.5)
Bruggink membagi keberlakuan hukum menjadi tiga, yaitu keberlakuan faktual, keberlakuan normatif dan keberlakuan evaluatif / material.
Keberlakuan faktual yaitu kaidah dipatuhi oleh para warga masyarakat/ efektif kaidah diterapkan dan ditegakkan oleh pejabat hukum; keberlakuan normatif yaitu kaidah cocok dalam sistim hukum herarkis, keberlakuan evaluatif yaitu secara empiris kaidah tampak diterima, secara filosofis kaidah memenuhi sifat mewajibkan karena isinya.( JJ.H. Bruggink, 1996, hal.157).
Dari uraian di atas maka dapat ditarik permasalahan yaitu bagaimana bentuk perlindungan hukum bagi pekerja yang di putus hubungan kerjanya oleh majikan karena melakukan kesalahan berat. Selain itu juga bagaimana upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pekerja apabila pekerja tidak mendapatkan haknya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.




































 Bab ll

Kebijakan pemerintah di bidang ketenagakerjaan

Pemerintah telah menetapkan kebijakan dibidang ketenagakerjaan yang dirumuskan  dalam  UU No. 13 tahun 2003. Berdasarkan ketentuan pasal 2 UU No. 13 tahun 2003 pembangunan ketenagakerjaan berlandaskan Pancasila dan Undang- Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Pembangunan ketenagakerjaan dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Oleh sebab itu pembangunan ketenagakerjaan dilaksanakan untuk mewujudkan manusia dan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, makmur dan merata baik materiil maupun spiritual.
Selanjutnya, berdasarkan ketentuan pasal 3 UU No. 13 Tahun 2003 pembangunan ketenagkerjaan diselenggarakan atas asas keterpaduan dengan melalui koordinasi fungsional lintas sektoral pusat dan daerah. Hal ini dijelaskan lebih lanjut dalam penjelasannnya, yaitu :
Asas pembangunan ketenagakerjaan pada dasarnya sesuai dengan asas pembangunan nasional, khususnya asas demokrasi Pancasila serta asas adil dan merata. Pembangunan ketenagakerjaan mempunyai banyak dimensi dan keterkaitan dengan berbagai pihak yaitu antara pemerintah, pengusaha dan pekerja/ buruh. Oleh sebab itu, pembangunan ketenagakerjaan dilaksanakan secara terpadu dalam bentuk kerja sama yang saling mendukung.

Tujuan pembangunan ketenagakerjaan berdasarkan ketentuan pasal 4 UU No. 13 Tahun 2003 adalah :
  1. memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi;
  2. Mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah;
  3. memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan dan;
  4. meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya

Pemberdayaan dan pendayagunaan tenaga kerja merupakan suatu kegiatan yang terpadu untuk dapat memberikan kesempatan kerja seluas-luasnya bagi tenaga kerja Indonesia. Melalui pemberdayaan dan pendayagunaan ini diharapkan tenaga kerja Indonesia dapat berpartisipasi secara optimal dalam pembangunan nasional, namun dengan tetap menjunjung nilai-nilai kemanusiaannya.
Pemerataan kesempatan kerja harus diupayakan di seluruh wilayah negara kesatuan Republik Indonesia sebagai satu kesatuan pasar kerja dengan memberikan kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan bagi seluruh tenaga kerja Indonesia sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya. Demikian pula pemerataan penempatan tenaga kerja perlu diupayakan agar dapat mengisi kebutuhan di seluruh sektor dan daerah.
Penekanan pembangunan ketenagakerjaan pada pekerja mengingat bahwa pekerja adalah pelaku pembangunan. Berhasil tidaknya pembangunan teletak pada kemampuan, dan kualitas pekerja.  Apabila kemampuan pekerja (tenaga kerja) tinggi maka produktifitas akan tinggi pula, yang dapat mengakibatkan  kesejahteraan meningkat. Tenaga kerja menduduki posisi yang strategis untuk meningkatkan produktifitas nasional dan kesejahteraan masyarakat,  (Machsoen Ali, 1999 :162 ).

















     Bab lll

Bentuk Perlindungan Hukum bagi Pekerja yang di PHK

Sebelum membahas tentang perlindungan hukum bagi pekerja yang di putus hubungan kerjanya, perlu dikaji tentang hubungan kerja. Berdasarkan ketentuan pasal 1 angka 15 Undang-Undang No.13 Tahun 2003 pengertian hubungan kerja yaitu ”Hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan,upah dan perintah”.
Hubungan kerja terjadi setelah adanya perjanjian kerja antara buruh dan majikan, yaitu suatu perjanjian dimana pihak kesatu, buruh, mengikatkan diri untuk bekerja dengan menerima upah pada pihak lainnya, majikan, yang mengikatkan diri untuk mempekerjakan buruh itu dengan membayar upah. “Pada pihak lainnya” mengandung arti bahwa pihak buruh dalam melakukan pekerjaan itu berada di bawah pimpinan pihak majikan. (Iman Soepomo, 1974, hal. 1)
Hubungan kerja dilakukan oleh subyek hukum. Subyek hukum yang terikat dalam hubungan kerja ini adalah pengusaha dan pekerja. Pengertian pekerja/buruh berdasarkan pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 yaitu ”Setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain”.
Undang-Undang No.13 Tahun 2003 membedakan pengertian antara pengusaha, pemberi kerja dan perusahaan. Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No.13 Tahun 2003 pengertian pemberi kerja yaitu ”Orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Pengertian pengusaha menurut pasal 1 angka 5 Undang-Undang No.13 Tahun 2003 adalah:
  1. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan bukan miliknya;
  2. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
  3. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.


Berdasarkan ketentuan pasal 1 angka 6 Undang-Undang No.13 Tahun 2003 pengertian perusahaan adalah:
      1. Setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain;
      2. Usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.

Hubungan antara pengusaha dengan pekerja di dalam melaksanakan hubungan kerja diharapkan harmonis supaya dapat mencapai peningkatan produktifitas dan kesejahteraan pekerja.  Untuk itu, para pengusaha dalam menghadapi para pekerja hendaknya :
  1. Menganggap para pekerja sebagai partner yang akan membantunya untuk menyukseskan tujuan usaha;
  2. Memberikan imbalan yang layak terhadap jasa-jasa yang telah  dikerahkan oleh partnernya itu, berupa penghasilan yang layak dan jaminan-jaminan sosial tertentu, agar dengan demikian pekerja tersebut dapat bekerja lebih produktif (berdaya guna); dan
  3. Menjalin hubungan baik dengan para pekerjanya. (Sunindhia, 1998, hal. 129).

Agar  kedua belah pihak dapat melaksanakan hubungan kerja dengan baik, tanpa adanya tindakan sewenang-wenang dari salah satu pihak maka diperlukan adanya campur tangan dari pemerintah dalam bentuk peraturan-perundang-undangan.
Adanya peraturan perundang-undangan ditujukan untuk pengendalian. Baik pemberi pekerja maupun yang diberi pekerjaan, masing-masing harus terkendali atau masing-masing harus menundukkan diri pada segala ketentuan dan peraturan yang berlaku, harus bertanggungjawab dalam melaksanakan kegiatan masing-masing sesuai dengan tugas dan wewenangnya, hingga keserasian dan keselarasan akan selalu terwujud. (Kertasapoetra, 1998, hal. 13).
Selama pelaksanaan hubungan kerja, tidak tertutup kemungkinan terjadi pemutusan hubungan kerja. Baik yang dilakukan atas inisiatif pengusaha atau atas inisiatif pekerja. Berdasarkan ketentuan pasal 1 angka 25 Undang-Undang No.13 Tahun 2003 pengertian pemutusan hubungan kerja yaitu ”Pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berkhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha”. Berdasarkan ketentuan pasal 150 UU No. 13 Tahun 2003,
Pemutusan hubungan kerja meliputi pemutusan hubungan kerja yang terjadi di badan usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan atau badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara, maupun usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lainnya yang mempunyai pengurus, dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Pemutusan hubungan kerja memberikan pengaruh psychologis, ekonomis-finansiil bagi si pekerja beserta keluarganya dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya. PHK harus diupayakan untuk dicegah.
Pengusaha dilarang melakukan PHK apabila didasarkan pada alasan-alasan berdasarkan pasal 153 ayat(1) Undang-Undang No.13 Tahun 2003 yaitu :
    1. Pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12(dua belas) bulan secara terus-menerus;
    2. Pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku;
    3. Pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
    4. Pekerja/buruh menikah;
    5. Pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan atau menyusui bayinya;
    6. Pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
    7. Pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan  pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
    8. Pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan;
    9. Karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin,kondisi fisik, atau status perkawinan;
    10. Pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dipastikan.

Apabila PHK tidak dapat dicegah atau dihindari, maka pekerja yang di PHK oleh majikan sesuai dengan alasan yang mendasari terjadinya PHK akan mendapatkan uang pesangon, penghargaan masa kerja dan uang ganti kerugian. Kesemuanya itu dimaksudkan berfungsi sebagai jaminan pendapatan.
Pelaksanaan pemutusan hubungan kerja berhubungan dengan jaminan pendapatan (income security) bagi buruh yang kehilangan pekerjaan. Kiranya perlu diciptakan peraturan yang memuaskan mengenai tata cara pemutusan hubungan kerja dengan memperhatikan kepentingan pihak pengusaha dan pihak buruh serta mengadakan penyelesaian yang layak dan patut serta dijiwai oleh nilai-nilai luhur Pancasila. (Djumialdi, 1987, hal. 88)
Berdasarkan ketentuan UU No. 13 Tahun 2003, pengusaha dapat melakukan PHK terhadap pekerja karena alasan-alasan sebagai berikut :
  1. Pekerja melakukan kesalahan ringan;
  2. Pekerja melakukan kesalahan berat;
  3. Perusahaan tutup karena pailit;
  4. Force majeur;
  5. Adanya efisiensi;
  6. Perubahan status, milik, lokasi dan pekerja menolak;
  7. Perubahan status, milik, lokasi dan majikan menolak;
  8. Pekerja sakit berkepanjangan dan mengalami cacat akibat kecelakaan kerja. (Asri Wijayanti, 2003, hal. 63).

Alasan dapat dibenarkan adanya PHK menurut Ridwan Halim dan Sunindhia yaitu :
    1. Menurutnya hasil produksi yang dapat pula disebabkan oleh beberapa faktor misalnya :
      1. Merosotnya kapasitas produksi perusahaan yang bersangkutan.
      2. Menurunnya permintaan masyarakat atas hasil produksi perusahaan yang bersangkutan.
      3. Menurunnya persediaan bahan dasar.
      4. Tidak lakunya hasil produksi yang lebih dahulu dilemparkan ke pasaran dan sebagainya, yang semua ini secara langsung maupun tidak langsung mengakibatkan kerugian.
    2. Merosotnya penghasilan perusahaan, yang secara langsung mengakibatkan kerugian pula.
    3. Merosotnya kemampuan perusahaan tersebut membayar upah atau gaji atau imbalan kerja lain dalam keadaan yang sama dengan sebelumnya.
    4. Dilaksanakan rasionalisasi atau penyederhanaan yang berarti pengurangan karyawan dalam jumlah besar dalam perusahaan bersangkutan. (Ridwan Halim, 1987, hal. 15)

Alasan lain yang bersumber dari keadaan yang luar biasa, misalnya :
        1. Karena keadaan perang yang tidak memungkinkan diteruskannya hubungan kerja;
        2. Karena bencana alam yang menghancurkan tempat kerja dan sebagainya;
        3. Karena perusahaan lain yang menjadi penyelenggara pekerjaan yang bersangkutan ternyata tidak mampu lagi meneruskan pengadaan lapangan pekerjaan selama ini ada. Sedangkan perusahaan atau majikan yang secara langsung mempekerjakan para karyawan selama ini hanyalah merupakan kuasa yang bertindak untuk dan atas nama perusahaan yang lain yang menjadi penyelenggara atau pengada lapangan pekerjaan tersebut;
        4. Karena meninggalnya majikan dan tidak ada ahli waris yang mampu melanjutkan hubungan kerja denga karyawan yang bersangkutan. (Sunindhia, 1998, hal. 23)

Alasan PHK itu di dalam prakteknya ada yang mengandung cacat yuridis, dalam arti ada hal-hal yang tidak benar di dalam dasar surat keputusan PHK oleh majikan. (Asri Wijayanti, 2002, hal.8) Pemutusan hubungan kerja yang tidak layak, antara lain :
a.    Jika antara lain  tidak menyebutkan alasannya atau.
      1. Jika alasannya PHK itu dicari-cari  atau alasannya palsu.
      2. Jika akibat pemberhentian  itu  adalah lebih berat dari pada keuntungan pemberhentian itu bagi majikan,atau.
      3. Jika buruh diperhentikan  bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang atau kebiasaan mengenai susunan staf  dan tidak alasan penting untuk tidak memenuhi ketentuan-ketentuan itu. (Sunindhia, 1998, hal. 29).
Apabila alasan PHK tidak dapat dibenarkan maka akan berakibat PHK itu dapat dibatalkan. Sanksi atau hukuman bagi pemutusan hubungan kerja yang tidak beralasan yaitu :
  1. Pemutusan tersebut adalah batal dan pekerja yang bersangkutan harus ditempatkan kembali pada kedudukan semula.
  2. Pembayaran ganti rugi kepada pekerja tersebut. Dalam hal ini pekerja berhak memilih antara penempatan kembali atau mendapatkan ganti rugi. (Kertosaputro, 1992, hal. 287)
Pada garis besarnya pemutusan hubungan kerja dapat dibagi dalam empat golongan yaitu :
  1. Pemutusan hubungan kerja karena hukum
Jika hubungan kerja yang diadakan untuk waktu tertentu, dan waktunya tersebut telah habis atau berakhir, maka pemutusan hubungan kerja dalam hal ini tidak diperlukan ijin. Hal demikian berarti putus dengan sendirinya, karena hukum.
  1. Pemutusan hubungan kerja karena keputusan pengadilan
Pemutusan hubungan kerja oleh Pengadilan ialah pemutusan dengan melalui yang berwenang di Pengadilan atas permintaan yang bersangkutan, yang berdasarkan alasan-alasan penting.
  1. Pemutusan hubungan kerja karena kehendak pekerja
Meliputi karena alas an mengundurkan diri atau alas an mendesak. Hal ini sesuai dengan pasal 169 ayat (1) Undang-Undang No.13 Tahun 2003 yaitu :pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal pengusaha melakukan perbuatan sebagai berikut:
    1. menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam pekerja/buruh;
    2. membujuk dan/atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundangan-undangan;
    3. tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih
    4. tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja/buruh;
    5. memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang diperjanjikan; atau
    6. memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan dan kesusilaan pekerja/buruh, sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada perjanjian kerja.

  1. Pemutusan hubungan kerja karena kehendak majikan
    1. Pemutusan hubungan atas kehendak majikan adalah harus disertai ijin dari P4Daerah atau P4 Pusat selama lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum terbentuk. Kriteria kesalahan berat yang dapat dijadikan dasar oleh majikan dalam memutus hubungan kerjanya dengan pekerja diatur dalam pasal 158 ayat (1) Undang-Undang No.13 Tahun 2003

·         Hak-hak Bagi Pekerja Yang di PHK

Apabila PHK tidak dapat dihindari, maka sesuai dengan alasan yang mendasari terjadinya PHK maka pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon, dan atau uang penghargaan masa kerja  yang disesuaikan dengan masa kerja serta uang penggantian hak.
Ketentuan uang pesangon berdasarkan pasal 156 ayat (2) Undang-Undang 13 Tahun 2003 yaitu :
  1. Masa kerja kurang dari 1 tahun, 1 bulan upah :
  2. Masa kerja 1 tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 tahun, 2 bulan upah;
  3. Masa kerja 2 tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 tahun, 3 bulan upah;
  4. Masa kerja 3 tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 tahun, 4 bulan upah;
  5. Masa kerja 4 tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 tahun, 5 bulan upah;
  6. Masa kerja 5 tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 tahun, 6 bulan upah;
  7. Masa kerja 6 tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 tahun, 7 bulan upah;
  8. Masa kerja 7 tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 tahun, 8 bulan upah;
  9. Masa kerja 8 tahun atau lebih, 9 bulan upah.

Ketentuan uang penghargaan masa kerja berdasarkan pasal 156 ayat (3) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 yaitu :
  1. Masa kerja 3 tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 tahun, 2 bulan upah;
  2. Masa kerja 6 tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 tahun, 3 bulan upah;
  3. Masa kerja 9 tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 tahun, 4 bulan upah;
  4. Masa kerja 12 tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 tahun, 5 bulan upah;
  5. Masa kerja 15 tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 tahun, 6 bulan upah;
  6. Masa kerja 18 tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 tahun, 7 bulan upah;
  7. Masa kerja 21 tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 tahun, 8 bulan upah;
  8. Masa kerja 24 tahun atau lebih, 10 bulan upah.

Uang penggantian hak yang seharusnya diterima berdasarkan pasal 156 ayat (4) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 meliputi :
  1. Cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
  2. Biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat dimana pekerja/buruh diterima bekerja;
  3. Penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja yang memenuhi syarat;
  4. Hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.



























    Bab IV

Bentuk Perlindungan Hukum bagi Pekerja yang di PHK karena melakukan kesalahan berat

Berdasarkan ketentuan pasal 158 ayat (1) Undang-Undang No.13 Tahun 2003 pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan alasan pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat sebagai berikut:
    1. melakukan penipuan, pencurian atau penggelapan barang dan/atau uang milik perusahaan;
    2. memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan perusahaan;
    3. mabuk,meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan/atau mengedarkan narkotika, psikotropika dan zat aditiktif lainnya di lingkungan kerja;
    4. melakukan perbuatan asusila atau perbuatan perjudian  di lingkungan kerja;
    5. menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja;
    6. membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
    7. dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik  milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan;
    8. dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja;
    9. membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara atau
    10. melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.

Sebelas kriteria kesalahan berat yang diatur dalam pasal 158 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 itu pada dasarnya dapat disejajarkan dengan delict (perbuatan melanggar hukum) kejahatan, yang diatur dalam Buku kedua Wetboek van starfrecht.
Diputuskannya pekerja telah melakukan kesalahan berat, haruslah didasarkan pada prosedur yang diatur dalam pasal 158 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003, yaitu :
  1. pekerja / buruh tertangkap tangan;
  2. ada pengakuan dari pekerja/ buruh yang bersangkutan, atau ;
  3. bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang berwenang di perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.

Tiga syarat yang ditetapkan dalam pasal 158 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 harus bersifat kumulatif, tidak boleh alternatif. Maksudnya adalah kesemua syarat yang ditetapkan dalam pasal 158 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 itu harus ada, tidak adanya salah satu syarat dari ketiga  syarat itu menjadikan putusan pengusaha / majikan bahwa pekerja telah melakukan kesalahan berat tidak dapat diterima.
Syarat pertama yang menyebutkan bahwa pekerja / buruh telah tertangkap tangan maksudnya adalah pekerja telah dapat dibuktikan bersdasarkan adanya bukti awal bahwa ia telah melakukan salah satu perbuatan yang telah ditetapkan dalam pasal 158 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003. Ada bukti awal yang cukup untuk dinyatakan bahwa pekerja telah melakukan kesalahan berat.
Syarat yang kedua yaitu adanya pengakuan dari pekerja / buruh yang bersangkutan bahwa ia telah melakukan perbuatan yang telah dituduhkan berdasarkan bukti awal pada saat tertangkap tangan. Pengakuan dari pekerja atau buruh itu dapat dibuat dalam  bentuk lisan maupun bentuk tertulis. Untuk menjamin adanya kepastian hukum sebaiknya pengakuan dari pekerja / buruh yang bersangkutan dibuat dalam bentuk tertulis, lebih baik lagi apabila yang membuat adalah pekerja sendiri (dalam arti tidak dibuatkan oleh personalia sepertia yang terjadi di dalam praktek). Tentunya pembuatan surat pernyataan pengakuan telah melakukan salah satu dari perbuatan yang termasuk dalam kriteria kesalahan berat itu  harus dibuat dengan kesadaran sendiri tidak dalam keadaan adanya paksaan, tekanan, atau tipu muslihat dari pengusaha/ majikan ataupun dari pihak personalia. Intinya tidak boleh dibuat atas dasar adanya kebohongan.
Syarat yang ketiga adalah adanya bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang berwenang di perusahaan yang bersangkutan dan di dukung olh sekurang-kurangnya dua orang saksi.  Syarat ketiga ini pada dasarnya merupakan kelanjutan dari telah dipenuhinya syarat pertama dan syarat kedua. Syarat ketiga pada hakekatnya memperkuat sayarat pertama dan syarat kedua.
Hal ini berlainan dengan rumusan dari ketentuan pasal 158 ayat 2 yang dapat ditafsirkan hanya menentukan ketiga syarat itu sebagai syarat alternatif dan bukan sebagai syarat kumulatif (garis bawah dari penulis). Dikatakan secra penafsiran bahwa itu menunjukkan sebagai syarat alteranatif karena antara  pasal 158 ayat (2) b dan pasal 158 ayat (2) c UU No. 13 Tahun 2003 menyebutkan kata atau bukan dan.
Penggunaan kata dan dengan kata atau dalam konteks bahasa hukum membawa akibat yang berlainan. Seharusnya redaksional pasal 158 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 itu tertulis dan.
Kekhawatiran akan terjadinya penyalahgunaan yang akan terjadi di masyarakat dapat dipahami.  Mengingat apabila syarat yang terdapat dalam pasal 158 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 dapat hanya dipakai salah satu saja. Misalnya A pekerja di PT X, pada saat akan pulang dan menjalani check body ( pemeriksaan oleh petugas keamanan di pintu keluar tempat kerja) kedapatan telah membawa barang milik perusahaan tanpa alas hak yang dapat dibenarkan. Atas dasar telah terpenuhinya syarat pertama yaitu pekerja telah tertangkap tangan dengan tanpa diikuti syarat kedua dan ketiga maka A saat itu juga dapat diPHK secara sepihak. Misalnya kenyataannya A tidak pernah mengambil barang milik perusahaan. Atau karena ada orang lain yang sengaja ingin mencelakakan A supaya ia dapat di PHK. Tidak adan gunanya apabila A bersikeras menolak tuduhan itu. Begitu juga apabila A tidak pernah mau mengakui bahwa ia telah mencuri apalagi mau membuat surat pengakuan bahwa ia telah mencuri.
Kekurang cermatan dalam merumuskan norma hukum tanpa memahami konsep bahasa hukum memang dapat berpengaruh pada keberlakuan hukum. Apabila dilakukan analisis maka ketentuan pasal 158 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 itu tidak memenuhi syarat keberlakuan yuridis dari Bruggink.
Sebagai bahan telaah dapat diteliti kembali norma hukum PHK yang diatur dalam UU No. 12 Tahun 1964 tentang PHK di perusahaan swasta, yang dengan  tegas menetapkan bahwa PHK termasuk juga PHK karena telah melakukan kesalahan berat harus dengan izin P4D atau P4P. Hal itu tidak terdapat di dalam ketentuan UU No. 13 Tahun 2003, yang tidak mensyaratkan adanya izin bagi PHK karena pekerja telah melakukan kesalahan berat.
Apabila pekerja mengalami PHK karena telah melakukan kesalahan berat  maka pekerja itu mempunyai hak sesuai dengan ketentuan pasal 158 ayat (3) dan ayat (4)  Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 yaitu :
Pekerja / buruh yang diputus hubungan kerjanya berdasrkan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat memperoleh uang penggantian hak sebagaimana dimaksud dalam pasal 156 ayat (4)
Bagi pekerja / buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung, selain uang penggantian hak sesuai dengan ketentuan pasal 156 ayat (4) diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
Ketentuan uang pisah memang belum ada peraturan pelaksananya. Dalam hal ini Apindo (Asosiasi Pengusaha Indonesia) menghimbau agar anggotanya yang terdiri dari para pengusaha memberikan uang pisah minimal sebesar satu bulan upah. Hal ini dilakukan dengan tujuan memberikan masukan pada pengusaha untuk segera merumuskan besarnya uang pisah yang dapat diberikan kepada pekerja bersama dengan serikat pekerja / buruh. Rumusan kesepakatan tentang besarnya uang pisah itu dapat dituangkan dalam perjanjian kerja bersama.
Contoh Kasus
A bekerja di PT X di bagian produksi dengan upah perbulan  satu juta. Masa kerja A bekerja di PT X adalah selama 8 tahun 9 bulan. Akhir bulan lalu A tertangkap tangan telah mencuri barang milik perusahaan. Akhirnya diputuskan A harus di PHK karena melakukan kesalahan berat.
Adapun hak yang diperoleh A dari PT X saat itu adalah  uang penggantian hak yang sesuai dengan Pasal 161 ayat (3) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 dan uang pisah berdasarkan ketentuan pasal 158 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003.
Dari ketentuan yang telah ditetapkan oleh perusahaan X, maka A berhak menerima uang pisah sebesar Rp 1 juta di tambah dengan uang penggantian hak , yaitu penggantian pengobatan dan perumahan sebesar 15 % x Rp 1 juta = Rp 150.0000. Jadi A mendapatkan hak karena adanya PHK dengan alasan telah melakukan kesalahan berat sebesar Rp. 1. 150.000 ditambah penggantian hak lainnya yang belum diterima (misalnya cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur ; biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat dimana pekerja/buruh diterima bekerja ;
Keseluruhan hak itu tentu saja dapat diberikan oleh pengusaha apabila kesalahan berat yang dituduhkan kepada pekerja secara formil maupun secara material memang benar.




Bab V

Upaya Hukum Bagi Pekerja yang di PHK Karena Melakukan Kesalahan Berat

Apabila ternyata pekerja tidak mendapatkan haknya sesuai dengan ketentuan pasal 161 ayat (3) UU No. 13 Tahun 2003. Sebelum terbentuknya lembaga penyelesaian perselisian hubungan Industrial, berdasarkan ketentuan UU No. 2 Tahun 2004 lembaga yang dimaksud adalah Pengadilan hubungan industrial maka dapat dilakukan upaya administratif atau upaya perdata.
Upaya hukum melalui upaya administratif, penyelesaiannya dapat melalui: upaya bipartid yang dilakukan antara pekerja dan pengusaha sebagai pihak yang terikat dalam hubungan kerja. Apabila perundingan itu berhasil mencapai kesepakatan maka hasil persetujuan itu mempunyai kekuatan hukum. Tetapi apabila perundingan tidak mencapai kesepakatan maka dapat minta anjuran ke Dinas Tenaga Kerja setempat .
Apabila anjuran dari Dinas Tenaga Kerja tidak diterima oleh salah sat atau kedua belah pihak maka dapat diajukan ke P4D atau ke P4P. Hal ini dapat diteruskan ke Menteri Tenaga Kerja guna memohon veto. Veto Menaker didasarkan pada pertimbangan keamanan dan stabilitas nasional.
Apabila diantara putusan P4D, atau P4P sudah dapat diterima oleh kedua belah pihak dan mempunyai kekuatan hukum yang tetap maka dapat dimintakan fiat eksekusi ke Pengadilan Negeri, supaya putusan itu dapat dijalankan.
Upaya hukum secara perdata, dapat dilakukan oleh pekerja, apabila putusan pengusaha dalam menjatuhkan PHK karena efisiensi tidak dapat dibenarkan. Dalam arti belum dilakukan langkah awal untuk menghindari ehfisiensi jumlah tenaga kerja. Secara perdata , pekerja dapat mengajukan gugat ganti rugi ke Pengadilan Negeri berdasarkan pasal 1365 BW yaitu “Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.
Sejak adanya UU No. 2 Tahun 2004 tentang penyelesaian perselisihan hubungan industrial (PPHI), yang disahkan pada tanggal 4 Januari 2003 (LN. Tahun 2004, no. 6, TLN. No. 4356) upaya hukum bagi pekerja yang mengalami perselisihan hubungan industrial akan dilakukan secara  bipartid, mediasi, konsiliasi, arbitarsi atau ke pengadilan hubungan industrial.
Bipartid, yaitu musyawarah antara pekerja dan pengusaha. Apabila tidak tercapai kesepakatan dengan cara bipartid maka pihak-pihak dapat memilih penyelesaian secara mediasi, konsiliasi, atau arbitrasi. Apabila pihak-pihak memilih mediasi atau konsiliasi dan tidak tercapai kesepakatan, maka dapat membawa perkaranya ke pengadilan hubungan industrial. Apabila pihak-pihak memilih arbitrasi maka kesepakatan dituangkan dalam akta perdamaian yang merupakan keputusan arbitrasi dan harus didaftarkan ke Pengadilan Negeri.
Apabila isi keputusan tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak maka dapat dimohonkan pembatalannya kepada Mahkamah Agung selambat-lambatnya 30 hari kerja sejak ditetapkannya putusan arbiter . Permohonan pembatalan dilakukan apabila mengandung unsur-unsur berdasarka ketentuan pasal 52 ayat (1) UU No.2 Tahun 2004 yaitu :
  1. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui atau dinyatakan palsu;
  2. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang ebrsifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan;
  3. Putusan diambil dari tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan perselisihan;
  4. Putusan melampaui kekuasaan arbiter hubungan industrial; atau
  5. Putusan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan ketentuan pasal 126 UU No. 2 Tahun 2004, masa berlakunya adalah satu tahun sejak diundangkan. Ketentuan ini diundangkan pada tanggal 14 Januari 2004. Jadi lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial ini akan menggantiikan kedudukan P4D atau P4P sejak tanggal 14 Januari 2005.

 

 

 

 

 

 

 



Bab VI

    Kesimpulan

Setiap pekerja/buruh yang di PHK oleh majikan karena melakukan kesalahan beratsesuai dengan ketentuan pasal 158 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003, harus disertai tiga syarat secara kumulatif. Syarat itu adalah bukti tertangkap tangan, pengakuan dari pekerja yang bersangkutan dan laporan pengusaha yang didukung 2 orang saksi.
Apabila keputusan perusahaan melakukan PHK karena pekerja melakukan kesalahan berat dibenarkan oleh hukum maka pekerja harus mendapatkan uang penggantian hak dan uang pisah.
Apabila hak diatas tidak dapat diperoleh oleh pekerja maka pekerja dapat melakukan upaya penyelesaian hukum secara sukarela melalui bipatrid atau secara wajib yang didahului lapor ke pegawai perantara untuk mendapatkan anjuran Depnaker diteruskan ke P4D, P4P atau Hak Veto Menaker untuk dapat dilakukan fiat eksekusi di Pengadilan Negeri. Apabila tidak dilaksanakan maka dapat banding ke PTTUN atau cara lainnya dapat dilakukan gugat ganti rugi ke Pengadilan Negeri berdasarkan pasal 1365 BW.
Apabila pengadilan hubungan industrial yang dibentuk berdasarkan UU No. 2 Tahun 2004 sudah terbentu maka upaya hukum dapat dilakukan meliputi upaya bipartid, mediasi, konsiliasi, arbitrasi atau ke kepadilan hubungan industrial.



















DAFTAR PUSTAKA

Asikin, Zainal, et.al. 1993, Dasar-dasar hukumperburuhan, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Asri Wijayanti, 2002, “ Perlindungan Hukum bagi Buruh yang di PHK di Perusahaan Swasta”, Prespektif Hukum, Jurnal Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Hang Tuah, vol.2 no. 2.
-------, 2003, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Diktat Kuliah Hukum Ketenagakerjaan,  Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya.
Bruggink, JJH, alih bahasa Arief Sidharta, 1996, Refleksi tentang hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Djumadi, 1995, Perjanjian Kerja Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja, Raja Grafindo Perkasa, Banjarmasin.
Djumialdji, FX, dan Soejono, Wiwoho, 1987, Perjanjian Perburuhan dan Hubungan Perburuhan Pancasila, PT. Bina Aksara, Jakarta.
Halim, A Ridwan dan Gultom, Sri Subiandini, 1987, Sari Hukum Perburuhan Aktual, Pradnya Paramita, Jakarta.
Hartono Widodo dan Judiantoro, 1992, Segi Hukum Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, Rajawali Pers, Jakarta.
Iman Soepomo, 1974, Pengantar HukumPerburuhan, Djambatan, Jakarta.
-------,1994, Hukum Perburuhan buidang hubungan kerja, Djambatan , Jakarta.
Kartasapoetra, G, 1992, Hukum Perburuhan di Indonesia Berdasarkan Pancasila, Sinar Grafindo, Jakarta.