PERLINDUNGAN HUKUM BAGI
PEKERJA
YANG DI PHK KARENA MELAKUKAN
KESALAHAN BERAT

Nama :
Herlinus Sunarto. I
Nim :
09.10.11.3807
Fakultas :
Hukum
Jurusan :
Ilmu Hukum
Bab l
Pendahuluan
Setiap manusia
selalu membutuhkan biaya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Untuk mendapatkan
biaya hidup seseorang perlu bekerja. Bekerja dapat dilakukan secara mandiri
atau bekerja kepada orang lain. Bekerja kepada orang lain dapat dilakukan
dengan bekerja kepada negara yang selanjutnya disebut sebagai pegawai
atau bekerja kepada orang lain (swasta) yang disebut sebagai buruh atau
pekerja.
Pengertian
pekerja berdasarkan ketentuan pasal 1 angka 3. UU No 13 tahun 2003 adalah
setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain..
Iman Soepomo menyebutkan bahwa pekerja atau buruh adalah seseorang yang bekerja
kepada orang lain dengan mendapatkan upah (Iman Soepomo, 1974, hal. 6).
Sedangkan tenaga kerja berdasarkan ketentuan pasal 1 angka 2 UU no. 13
tahun 2003 adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan
barang dan / atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk
masyarakat.
Jumlah tenaga
kerja yang tersedia di Indonesia tidak seimbang dengan jumlah lapangan kerja yang
tersedia. Jumlah tenaga kerja jauh lebih banyak dari pada jumlah lapangan
pekerjaan yang tersedia. Terlebih lagi dari sebagian besar tenaga kerja yang
tersedia adalah yang berpendidikan rendah atau tidak berpendidikan sama sekali.
Mereka kebanyakan adalah unskillabour, sehingga posisi tawar mereka adalah
rendah.
Dalam rangka
mengejar pertumbuhan ekonomi, salah satunya melalui industrialisaasi, membawa
akibat meletakkan posisi pemilik modal sebagai pelopor dan basis pendukung bagi
keberhasilan pembangunan nasional, sebaliknya menempatkan pekerja pada posisi
pemancing sektor penarik investasi sehingga nilai pekerja Indonesia lebih
rendah daripada nilai pekerja luar negeri (M Zaidun, 1997 : 23). Kebijakan
pemerintah di bidang ketenagakerjaan seolah-olah kurang memperhatikan nasib
pekerja. Hal ini ditunjang dengan adanya doktrin stabilitas yang semakin
memperlemah posisi tawar buruh ( Mansour Fakih, 1997 : 46)
Keadaan ini
menimbulkan adanya kecenderungan majikan untuk berbuat sewenang- wenang kepada
pekerja / buruhnya. Buruh dipandang sebagai obyek. Buruh dianggap sebagai
faktor ektern yang berkedudukan sama dengan pelanggan pemasok atau pelanggan
pembeli yang berfungsi menunjang kelangsungan perusahaan dan bukan faktor
intern sebagai bagian yang tidak terpisahkan atau sebagai unsur konstitutip
yang menjadikan perusahaan (HP Rajagukguk, 2000, hal 3).
Majikan dapat
dengan leluasa untuk menekan pekerja / buruhnya untuk bekerja secara maksimal,
terkadang melebihi kemampuan kerjanya. Misalnya majikan dapat menetapkan upah
hanya maksimal sebanyak upah minimum propinsi yang ada, tanpa melihat masa
kerja dari pekerja itu. Seringkali pekerja dengan masa kerja yang lama upahnya
hanya selisih sedikit lebih besar dari upah pekerja yang masa kerjanya kurang
dari satu tahun. Majikan enggan untuk meningkatkan atau menaikkan upah pekerja.
meskipun terjadi
peningkatan hasil produksi dengan dalih bahwa takut diprotes oleh perusahaan –
perusahaan lain yang sejenis.
Secara sosiologis
kedudukan buruh adalah tidak bebas. Sebagai orang yang tidak mempunyai bekal
hidup lain daripada itu, ia terpaksa bekerja pada orang lain. Majikan inilah
yang pada dasarnya menentukan syarat-syarat kerja. (HP. Rajagukguk, 2000,
hal.6). Mengingat kedudukan pekerja yang lebih rendah daripada majikan maka perlu
adanya campur tangan pemerintah untuk memberikan perlindungan hukumnya.
Perlindungan hukum menurut Philipus,
Selalu berkaitan
dengan kekuasaan. Ada dua kekuasaan yang selalu menjadi perhatian yakni
kekuasaan pemerintah dan kekuasaan ekonomi. Dalam hubungan dengan kekuasaan
pemerintah, permasalahan perlindungan hukum bagi rakyat (yang diperintah),
terhadap pemerintah (yang memerintah). Dalam hubungan dengan kekuasaan ekonomi,
permasalahan perlindungan hukum adalah perlindungan bagi silemah (ekonomi) terhadap
si kuat (ekonomi), misalnya perlindungan bagi pekerja terhadap pengusaha. (
Philipus M. Hadjon, 1994, hal. 4)
Perlindungan
hukum bagi buruh sangat diperlukan mengingat kedudukannya yang lemah.
Disebutkan oleh Zainal Asikin, yaitu :
Perlindungan hukum
dari kekuasaan majikan terlaksana apabila peraturan perundang-undangan dalam
bidang perburuhan yang mengharuskan atau memaksa majikan bertindak seperti
dalam perundang-undangan tersebut benar-benar dilaksanakan semua pihak karena
keberlakuan hukum tidak dapat diukur secara yuridis saja, tetapi diukur secara
sosiologis dan filosofis . (Zainal Asikin, 1993, hal.5)
Bruggink membagi
keberlakuan hukum menjadi tiga, yaitu keberlakuan faktual, keberlakuan normatif
dan keberlakuan evaluatif / material.
Keberlakuan
faktual yaitu kaidah dipatuhi oleh para warga masyarakat/ efektif kaidah
diterapkan dan ditegakkan oleh pejabat hukum; keberlakuan normatif yaitu kaidah
cocok dalam sistim hukum herarkis, keberlakuan evaluatif yaitu secara empiris
kaidah tampak diterima, secara filosofis kaidah memenuhi sifat mewajibkan
karena isinya.( JJ.H. Bruggink, 1996, hal.157).
Dari uraian di
atas maka dapat ditarik permasalahan yaitu bagaimana bentuk perlindungan hukum
bagi pekerja yang di putus hubungan kerjanya oleh majikan karena melakukan
kesalahan berat. Selain itu juga bagaimana upaya hukum yang dapat dilakukan
oleh pekerja apabila pekerja tidak mendapatkan haknya sesuai dengan ketentuan
yang berlaku.
Bab ll
Kebijakan pemerintah di bidang ketenagakerjaan
Pemerintah telah
menetapkan kebijakan dibidang ketenagakerjaan yang dirumuskan dalam
UU No. 13 tahun 2003. Berdasarkan ketentuan pasal 2 UU No. 13 tahun 2003
pembangunan ketenagakerjaan berlandaskan Pancasila dan Undang- Undang Dasar Republik
Indonesia Tahun 1945. Pembangunan ketenagakerjaan dilaksanakan dalam rangka
pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Oleh sebab itu pembangunan
ketenagakerjaan dilaksanakan untuk mewujudkan manusia dan masyarakat Indonesia
yang sejahtera, adil, makmur dan merata baik materiil maupun spiritual.
Selanjutnya,
berdasarkan ketentuan pasal 3 UU No. 13 Tahun 2003 pembangunan ketenagkerjaan
diselenggarakan atas asas keterpaduan dengan melalui koordinasi fungsional
lintas sektoral pusat dan daerah. Hal ini dijelaskan lebih lanjut dalam
penjelasannnya, yaitu :
Asas pembangunan
ketenagakerjaan pada dasarnya sesuai dengan asas pembangunan nasional,
khususnya asas demokrasi Pancasila serta asas adil dan merata. Pembangunan
ketenagakerjaan mempunyai banyak dimensi dan keterkaitan dengan berbagai pihak
yaitu antara pemerintah, pengusaha dan pekerja/ buruh. Oleh sebab itu,
pembangunan ketenagakerjaan dilaksanakan secara terpadu dalam bentuk kerja sama
yang saling mendukung.
Tujuan
pembangunan ketenagakerjaan berdasarkan ketentuan pasal 4 UU No. 13 Tahun 2003
adalah :
- memberdayakan dan
mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi;
- Mewujudkan pemerataan
kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan
pembangunan nasional dan daerah;
- memberikan
perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan dan;
- meningkatkan
kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya
Pemberdayaan dan
pendayagunaan tenaga kerja merupakan suatu kegiatan yang terpadu untuk dapat
memberikan kesempatan kerja seluas-luasnya bagi tenaga kerja Indonesia. Melalui
pemberdayaan dan pendayagunaan ini diharapkan tenaga kerja Indonesia dapat
berpartisipasi secara optimal dalam pembangunan nasional, namun dengan tetap
menjunjung nilai-nilai kemanusiaannya.
Pemerataan
kesempatan kerja harus diupayakan di seluruh wilayah negara kesatuan Republik
Indonesia sebagai satu kesatuan pasar kerja dengan memberikan kesempatan yang
sama untuk memperoleh pekerjaan bagi seluruh tenaga kerja Indonesia sesuai
dengan bakat, minat dan kemampuannya. Demikian pula pemerataan penempatan
tenaga kerja perlu diupayakan agar dapat mengisi kebutuhan di seluruh sektor
dan daerah.
Penekanan
pembangunan ketenagakerjaan pada pekerja mengingat bahwa pekerja adalah pelaku
pembangunan. Berhasil tidaknya pembangunan teletak pada kemampuan, dan kualitas
pekerja. Apabila kemampuan pekerja (tenaga kerja) tinggi maka
produktifitas akan tinggi pula, yang dapat mengakibatkan kesejahteraan
meningkat. Tenaga kerja menduduki posisi yang strategis untuk meningkatkan
produktifitas nasional dan kesejahteraan masyarakat, (Machsoen Ali, 1999
:162 ).
Bab lll
Bentuk Perlindungan Hukum bagi Pekerja yang di PHK
Sebelum membahas
tentang perlindungan hukum bagi pekerja yang di putus hubungan kerjanya, perlu
dikaji tentang hubungan kerja. Berdasarkan ketentuan pasal 1 angka 15
Undang-Undang No.13 Tahun 2003 pengertian hubungan kerja yaitu ”Hubungan antara
pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai
unsur pekerjaan,upah dan perintah”.
Hubungan kerja
terjadi setelah adanya perjanjian kerja antara buruh dan majikan, yaitu suatu
perjanjian dimana pihak kesatu, buruh, mengikatkan diri untuk bekerja dengan
menerima upah pada pihak lainnya, majikan, yang mengikatkan diri untuk
mempekerjakan buruh itu dengan membayar upah. “Pada pihak lainnya” mengandung
arti bahwa pihak buruh dalam melakukan pekerjaan itu berada di bawah pimpinan
pihak majikan. (Iman Soepomo, 1974, hal. 1)
Hubungan kerja
dilakukan oleh subyek hukum. Subyek hukum yang terikat dalam hubungan kerja ini
adalah pengusaha dan pekerja. Pengertian pekerja/buruh berdasarkan pasal 1
angka 3 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 yaitu ”Setiap orang yang bekerja dengan
menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain”.
Undang-Undang
No.13 Tahun 2003 membedakan pengertian antara pengusaha, pemberi kerja dan
perusahaan. Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No.13 Tahun 2003 pengertian pemberi
kerja yaitu ”Orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan
lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam
bentuk lain.
Pengertian pengusaha menurut pasal 1
angka 5 Undang-Undang No.13 Tahun 2003 adalah:
- Orang
perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu
perusahaan bukan miliknya;
- Orang
perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri
menjalankan perusahaan bukan miliknya;
- Orang
perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia
mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan
di luar wilayah Indonesia.
Berdasarkan ketentuan pasal 1 angka 6
Undang-Undang No.13 Tahun 2003 pengertian perusahaan adalah:
- Setiap bentuk usaha
yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik
persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik
negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau
imbalan dalam bentuk lain;
- Usaha-usaha sosial
dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang
lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Hubungan antara
pengusaha dengan pekerja di dalam melaksanakan hubungan kerja diharapkan
harmonis supaya dapat mencapai peningkatan produktifitas dan kesejahteraan
pekerja. Untuk
itu, para pengusaha dalam menghadapi para pekerja hendaknya :
- Menganggap
para pekerja sebagai partner yang akan membantunya untuk menyukseskan
tujuan usaha;
- Memberikan
imbalan yang layak terhadap jasa-jasa yang telah dikerahkan oleh
partnernya itu, berupa penghasilan yang layak dan jaminan-jaminan sosial
tertentu, agar dengan demikian pekerja tersebut dapat bekerja lebih
produktif (berdaya guna); dan
- Menjalin
hubungan baik dengan para pekerjanya. (Sunindhia, 1998, hal. 129).
Agar kedua belah pihak dapat
melaksanakan hubungan kerja dengan baik, tanpa adanya tindakan sewenang-wenang
dari salah satu pihak maka diperlukan adanya campur tangan dari pemerintah
dalam bentuk peraturan-perundang-undangan.
Adanya peraturan
perundang-undangan ditujukan untuk pengendalian. Baik pemberi pekerja maupun
yang diberi pekerjaan, masing-masing harus terkendali atau masing-masing harus
menundukkan diri pada segala ketentuan dan peraturan yang berlaku, harus
bertanggungjawab dalam melaksanakan kegiatan masing-masing sesuai dengan tugas
dan wewenangnya, hingga keserasian dan keselarasan akan selalu terwujud.
(Kertasapoetra, 1998, hal. 13).
Selama
pelaksanaan hubungan kerja, tidak tertutup kemungkinan terjadi pemutusan
hubungan kerja. Baik yang dilakukan atas inisiatif pengusaha atau atas
inisiatif pekerja. Berdasarkan ketentuan pasal 1 angka 25 Undang-Undang No.13
Tahun 2003 pengertian pemutusan hubungan kerja yaitu ”Pengakhiran hubungan
kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berkhirnya hak dan kewajiban
antara pekerja/buruh dan pengusaha”. Berdasarkan ketentuan pasal 150 UU No. 13
Tahun 2003,
Pemutusan
hubungan kerja meliputi pemutusan hubungan kerja yang terjadi di badan usaha
yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan
atau badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara, maupun usaha-usaha
sosial dan usaha-usaha lainnya yang mempunyai pengurus, dan mempekerjakan orang
lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Pemutusan hubungan kerja memberikan pengaruh psychologis,
ekonomis-finansiil bagi si pekerja beserta keluarganya dalam mempertahankan
kelangsungan hidupnya. PHK harus diupayakan untuk dicegah.
Pengusaha
dilarang melakukan PHK apabila didasarkan pada alasan-alasan berdasarkan pasal
153 ayat(1) Undang-Undang No.13 Tahun 2003 yaitu :
- Pekerja/buruh
berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama
waktu tidak melampaui 12(dua belas) bulan secara terus-menerus;
- Pekerja/buruh
berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap
negara sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku;
- Pekerja/buruh
menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
- Pekerja/buruh
menikah;
- Pekerja/buruh
perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan atau menyusui bayinya;
- Pekerja/buruh
mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh
lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian
kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
- Pekerja/buruh
mendirikan, menjadi anggota dan atau pengurus serikat pekerja/serikat
buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh di
luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha,
atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
- Pekerja/buruh
yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan
pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan;
- Karena
perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan,
jenis kelamin,kondisi fisik, atau status perkawinan;
- Pekerja/buruh
dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit
karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka
waktu penyembuhannya belum dipastikan.
Apabila PHK tidak
dapat dicegah atau dihindari, maka pekerja yang di PHK oleh majikan sesuai dengan
alasan yang mendasari terjadinya PHK akan mendapatkan uang pesangon,
penghargaan masa kerja dan uang ganti kerugian. Kesemuanya itu dimaksudkan
berfungsi sebagai jaminan pendapatan.
Pelaksanaan
pemutusan hubungan kerja berhubungan dengan jaminan pendapatan (income
security) bagi buruh yang kehilangan pekerjaan. Kiranya perlu diciptakan
peraturan yang memuaskan mengenai tata cara pemutusan hubungan kerja dengan
memperhatikan kepentingan pihak pengusaha dan pihak buruh serta mengadakan
penyelesaian yang layak dan patut serta dijiwai oleh nilai-nilai luhur
Pancasila. (Djumialdi, 1987, hal. 88)
Berdasarkan
ketentuan UU No. 13 Tahun 2003, pengusaha dapat melakukan PHK terhadap pekerja
karena alasan-alasan sebagai berikut :
- Pekerja melakukan
kesalahan ringan;
- Pekerja melakukan
kesalahan berat;
- Perusahaan tutup
karena pailit;
- Force majeur;
- Adanya efisiensi;
- Perubahan
status, milik, lokasi dan pekerja menolak;
- Perubahan
status, milik, lokasi dan majikan menolak;
- Pekerja
sakit berkepanjangan dan mengalami cacat akibat kecelakaan kerja. (Asri Wijayanti, 2003,
hal. 63).
Alasan dapat dibenarkan adanya PHK menurut Ridwan Halim
dan Sunindhia yaitu :
- Menurutnya
hasil produksi yang dapat pula disebabkan oleh beberapa faktor misalnya :
- Merosotnya
kapasitas produksi perusahaan yang bersangkutan.
- Menurunnya
permintaan masyarakat atas hasil produksi perusahaan yang bersangkutan.
- Menurunnya
persediaan bahan dasar.
- Tidak lakunya hasil
produksi yang lebih dahulu dilemparkan ke pasaran dan sebagainya, yang
semua ini secara langsung maupun tidak langsung mengakibatkan kerugian.
- Merosotnya
penghasilan perusahaan, yang secara langsung mengakibatkan kerugian pula.
- Merosotnya
kemampuan perusahaan tersebut membayar upah atau gaji atau imbalan kerja
lain dalam keadaan yang sama dengan sebelumnya.
- Dilaksanakan
rasionalisasi atau penyederhanaan yang berarti pengurangan karyawan dalam
jumlah besar dalam perusahaan bersangkutan. (Ridwan Halim, 1987, hal. 15)
Alasan lain yang
bersumber dari keadaan yang luar biasa, misalnya :
- Karena
keadaan perang yang tidak memungkinkan diteruskannya hubungan kerja;
- Karena
bencana alam yang menghancurkan tempat kerja dan sebagainya;
- Karena
perusahaan lain yang menjadi penyelenggara pekerjaan yang bersangkutan
ternyata tidak mampu lagi meneruskan pengadaan lapangan pekerjaan
selama ini ada. Sedangkan perusahaan atau majikan yang secara langsung
mempekerjakan para karyawan selama ini hanyalah merupakan kuasa yang
bertindak untuk dan atas nama perusahaan yang lain yang menjadi
penyelenggara atau pengada lapangan pekerjaan tersebut;
- Karena
meninggalnya majikan dan tidak ada ahli waris yang mampu melanjutkan
hubungan kerja denga karyawan yang bersangkutan. (Sunindhia, 1998,
hal. 23)
Alasan
PHK itu di dalam prakteknya ada yang mengandung cacat yuridis, dalam arti ada
hal-hal yang tidak benar di dalam dasar surat keputusan PHK oleh majikan. (Asri
Wijayanti, 2002, hal.8) Pemutusan hubungan kerja yang tidak layak, antara lain
:
a.
Jika antara lain tidak menyebutkan alasannya atau.
- Jika
alasannya PHK itu dicari-cari atau alasannya palsu.
- Jika
akibat pemberhentian itu adalah lebih berat dari pada
keuntungan pemberhentian itu bagi majikan,atau.
- Jika
buruh diperhentikan bertentangan dengan ketentuan dalam
Undang-Undang atau kebiasaan mengenai susunan staf dan tidak
alasan penting untuk tidak memenuhi ketentuan-ketentuan itu. (Sunindhia, 1998,
hal. 29).
Apabila alasan PHK tidak dapat dibenarkan maka akan
berakibat PHK itu dapat dibatalkan. Sanksi atau hukuman bagi pemutusan hubungan
kerja yang tidak beralasan yaitu :
- Pemutusan
tersebut adalah batal dan pekerja yang bersangkutan harus ditempatkan
kembali pada kedudukan semula.
- Pembayaran
ganti rugi kepada pekerja tersebut. Dalam hal ini pekerja berhak memilih
antara penempatan kembali atau mendapatkan ganti rugi. (Kertosaputro, 1992,
hal. 287)
Pada garis
besarnya pemutusan hubungan kerja dapat dibagi dalam empat golongan yaitu :
- Pemutusan hubungan
kerja karena hukum
Jika hubungan kerja yang diadakan
untuk waktu tertentu, dan waktunya tersebut telah habis atau berakhir, maka pemutusan
hubungan kerja dalam hal ini tidak diperlukan ijin. Hal demikian berarti putus
dengan sendirinya, karena hukum.
- Pemutusan
hubungan kerja karena keputusan pengadilan
Pemutusan
hubungan kerja oleh Pengadilan ialah pemutusan dengan melalui yang berwenang di
Pengadilan atas permintaan yang bersangkutan, yang berdasarkan alasan-alasan
penting.
- Pemutusan
hubungan kerja karena kehendak pekerja
Meliputi karena
alas an mengundurkan diri atau alas an mendesak. Hal ini sesuai dengan pasal
169 ayat (1) Undang-Undang No.13 Tahun 2003 yaitu :pekerja/buruh dapat
mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial dalam hal pengusaha melakukan perbuatan
sebagai berikut:
- menganiaya,
menghina secara kasar atau mengancam pekerja/buruh;
- membujuk
dan/atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan peraturan perundangan-undangan;
- tidak
membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga)
bulan berturut-turut atau lebih
- tidak
melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja/buruh;
- memerintahkan
pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang diperjanjikan;
atau
- memberikan
pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan dan kesusilaan
pekerja/buruh, sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada
perjanjian kerja.
- Pemutusan
hubungan kerja karena kehendak majikan
- Pemutusan
hubungan atas kehendak majikan adalah harus disertai ijin dari P4Daerah
atau P4 Pusat selama lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
industrial belum terbentuk. Kriteria kesalahan berat yang dapat dijadikan
dasar oleh majikan dalam memutus hubungan kerjanya dengan pekerja diatur
dalam pasal 158 ayat (1) Undang-Undang No.13 Tahun 2003
·
Hak-hak Bagi Pekerja
Yang di PHK
Apabila PHK tidak
dapat dihindari, maka sesuai dengan alasan yang mendasari terjadinya PHK maka
pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon, dan atau uang penghargaan masa
kerja yang disesuaikan dengan masa kerja serta uang penggantian hak.
Ketentuan uang pesangon berdasarkan pasal 156 ayat (2)
Undang-Undang 13 Tahun 2003 yaitu :
- Masa
kerja kurang dari 1 tahun, 1 bulan upah :
- Masa
kerja 1 tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 tahun, 2 bulan upah;
- Masa
kerja 2 tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 tahun, 3 bulan upah;
- Masa
kerja 3 tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 tahun, 4 bulan upah;
- Masa
kerja 4 tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 tahun, 5 bulan upah;
- Masa
kerja 5 tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 tahun, 6 bulan upah;
- Masa
kerja 6 tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 tahun, 7 bulan upah;
- Masa
kerja 7 tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 tahun, 8 bulan upah;
- Masa
kerja 8 tahun atau lebih, 9 bulan upah.
Ketentuan uang penghargaan masa kerja
berdasarkan pasal 156 ayat (3) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 yaitu :
- Masa
kerja 3 tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 tahun, 2 bulan upah;
- Masa
kerja 6 tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 tahun, 3 bulan upah;
- Masa
kerja 9 tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 tahun, 4 bulan upah;
- Masa
kerja 12 tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 tahun, 5 bulan upah;
- Masa
kerja 15 tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 tahun, 6 bulan upah;
- Masa
kerja 18 tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 tahun, 7 bulan upah;
- Masa
kerja 21 tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 tahun, 8 bulan upah;
- Masa
kerja 24 tahun atau lebih, 10 bulan upah.
Uang penggantian
hak yang seharusnya diterima berdasarkan pasal 156 ayat (4) Undang-Undang No.
13 Tahun 2003 meliputi :
- Cuti
tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
- Biaya
atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat dimana
pekerja/buruh diterima bekerja;
- Penggantian
perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% dari uang pesangon
dan/atau uang penghargaan masa kerja yang memenuhi syarat;
- Hal-hal
lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau
perjanjian kerja bersama.
Bab IV
Bentuk Perlindungan Hukum bagi Pekerja yang di PHK karena melakukan kesalahan berat
Berdasarkan
ketentuan pasal 158 ayat (1) Undang-Undang No.13 Tahun 2003 pengusaha dapat
memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan alasan pekerja/buruh
telah melakukan kesalahan berat sebagai berikut:
- melakukan
penipuan, pencurian atau penggelapan barang dan/atau uang milik
perusahaan;
- memberikan
keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan perusahaan;
- mabuk,meminum
minuman keras yang memabukkan, memakai dan/atau mengedarkan narkotika,
psikotropika dan zat aditiktif lainnya di lingkungan kerja;
- melakukan
perbuatan asusila atau perbuatan perjudian di lingkungan kerja;
- menyerang,
menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau pengusaha
di lingkungan kerja;
- membujuk
teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan;
- dengan
ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang
milik milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan;
- dengan
ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam
keadaan bahaya di tempat kerja;
- membongkar
atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali
untuk kepentingan negara atau
- melakukan
perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidana penjara 5
(lima) tahun atau lebih.
Sebelas kriteria
kesalahan berat yang diatur dalam pasal 158 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 itu
pada dasarnya dapat disejajarkan dengan delict (perbuatan melanggar
hukum) kejahatan, yang diatur dalam Buku kedua Wetboek van starfrecht.
Diputuskannya
pekerja telah melakukan kesalahan berat, haruslah didasarkan pada prosedur yang
diatur dalam pasal 158 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003, yaitu :
- pekerja / buruh
tertangkap tangan;
- ada
pengakuan dari pekerja/ buruh yang bersangkutan, atau ;
- bukti
lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang berwenang di
perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh sekurang-kurangnya 2 (dua)
orang saksi.
Tiga syarat yang
ditetapkan dalam pasal 158 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 harus bersifat
kumulatif, tidak boleh alternatif. Maksudnya adalah kesemua syarat yang
ditetapkan dalam pasal 158 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 itu harus ada, tidak
adanya salah satu syarat dari ketiga syarat itu menjadikan putusan
pengusaha / majikan bahwa pekerja telah melakukan kesalahan berat tidak dapat
diterima.
Syarat pertama
yang menyebutkan bahwa pekerja / buruh telah tertangkap tangan maksudnya adalah
pekerja telah dapat dibuktikan bersdasarkan adanya bukti awal bahwa ia telah
melakukan salah satu perbuatan yang telah ditetapkan dalam pasal 158 ayat (1)
UU No. 13 Tahun 2003. Ada bukti awal yang cukup untuk dinyatakan bahwa pekerja
telah melakukan kesalahan berat.
Syarat yang kedua
yaitu adanya pengakuan dari pekerja / buruh yang bersangkutan bahwa ia telah
melakukan perbuatan yang telah dituduhkan berdasarkan bukti awal pada saat tertangkap
tangan. Pengakuan dari pekerja atau buruh itu dapat dibuat dalam bentuk
lisan maupun bentuk tertulis. Untuk menjamin adanya kepastian hukum sebaiknya
pengakuan dari pekerja / buruh yang bersangkutan dibuat dalam bentuk tertulis,
lebih baik lagi apabila yang membuat adalah pekerja sendiri (dalam arti tidak
dibuatkan oleh personalia sepertia yang terjadi di dalam praktek). Tentunya
pembuatan surat pernyataan pengakuan telah melakukan salah satu dari perbuatan
yang termasuk dalam kriteria kesalahan berat itu harus dibuat dengan
kesadaran sendiri tidak dalam keadaan adanya paksaan, tekanan, atau tipu
muslihat dari pengusaha/ majikan ataupun dari pihak personalia. Intinya tidak
boleh dibuat atas dasar adanya kebohongan.
Syarat yang
ketiga adalah adanya bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak
yang berwenang di perusahaan yang bersangkutan dan di dukung olh
sekurang-kurangnya dua orang saksi. Syarat ketiga ini pada dasarnya
merupakan kelanjutan dari telah dipenuhinya syarat pertama dan syarat kedua.
Syarat ketiga pada hakekatnya memperkuat sayarat pertama dan syarat kedua.
Hal ini berlainan
dengan rumusan dari ketentuan pasal 158 ayat 2 yang dapat ditafsirkan hanya
menentukan ketiga syarat itu sebagai syarat alternatif dan bukan sebagai syarat
kumulatif (garis bawah dari penulis). Dikatakan secra penafsiran bahwa
itu menunjukkan sebagai syarat alteranatif karena antara pasal 158 ayat
(2) b dan pasal 158 ayat (2) c UU No. 13 Tahun 2003 menyebutkan kata atau
bukan dan.
Penggunaan kata
dan dengan kata atau dalam konteks bahasa hukum membawa akibat yang berlainan.
Seharusnya redaksional pasal 158 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 itu tertulis
dan.
Kekhawatiran akan
terjadinya penyalahgunaan yang akan terjadi di masyarakat dapat dipahami.
Mengingat apabila syarat yang terdapat dalam pasal 158 ayat (2) UU No. 13 Tahun
2003 dapat hanya dipakai salah satu saja. Misalnya A pekerja di PT X, pada saat
akan pulang dan menjalani check body ( pemeriksaan oleh petugas keamanan di
pintu keluar tempat kerja) kedapatan telah membawa barang milik perusahaan
tanpa alas hak yang dapat dibenarkan. Atas dasar telah terpenuhinya syarat
pertama yaitu pekerja telah tertangkap tangan dengan tanpa diikuti syarat kedua
dan ketiga maka A saat itu juga dapat diPHK secara sepihak. Misalnya
kenyataannya A tidak pernah mengambil barang milik perusahaan. Atau karena ada
orang lain yang sengaja ingin mencelakakan A supaya ia dapat di PHK. Tidak adan
gunanya apabila A bersikeras menolak tuduhan itu. Begitu juga apabila A tidak pernah
mau mengakui bahwa ia telah mencuri apalagi mau membuat surat pengakuan bahwa
ia telah mencuri.
Kekurang cermatan
dalam merumuskan norma hukum tanpa memahami konsep bahasa hukum memang dapat
berpengaruh pada keberlakuan hukum. Apabila dilakukan analisis maka ketentuan
pasal 158 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 itu tidak memenuhi syarat keberlakuan
yuridis dari Bruggink.
Sebagai bahan
telaah dapat diteliti kembali norma hukum PHK yang diatur dalam UU No. 12 Tahun
1964 tentang PHK di perusahaan swasta, yang dengan tegas menetapkan bahwa
PHK termasuk juga PHK karena telah melakukan kesalahan berat harus dengan izin
P4D atau P4P. Hal itu tidak terdapat di dalam ketentuan UU No. 13 Tahun 2003,
yang tidak mensyaratkan adanya izin bagi PHK karena pekerja telah melakukan
kesalahan berat.
Apabila pekerja
mengalami PHK karena telah melakukan kesalahan berat maka pekerja itu
mempunyai hak sesuai dengan ketentuan pasal 158 ayat (3) dan ayat (4)
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 yaitu :
Pekerja / buruh
yang diputus hubungan kerjanya berdasrkan alasan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dapat memperoleh uang penggantian hak sebagaimana dimaksud dalam pasal
156 ayat (4)
Bagi pekerja /
buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang tugas dan fungsinya tidak
mewakili kepentingan pengusaha secara langsung, selain uang penggantian hak
sesuai dengan ketentuan pasal 156 ayat (4) diberikan uang pisah yang besarnya
dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau
perjanjian kerja bersama.
Ketentuan
uang pisah memang belum ada peraturan pelaksananya. Dalam hal ini Apindo
(Asosiasi Pengusaha Indonesia) menghimbau agar anggotanya yang terdiri dari
para pengusaha memberikan uang pisah minimal sebesar satu bulan upah. Hal ini
dilakukan dengan tujuan memberikan masukan pada pengusaha untuk segera
merumuskan besarnya uang pisah yang dapat diberikan kepada pekerja bersama
dengan serikat pekerja / buruh. Rumusan kesepakatan tentang besarnya uang pisah
itu dapat dituangkan dalam perjanjian kerja bersama.
Contoh
Kasus
A bekerja di PT X
di bagian produksi dengan upah perbulan satu juta. Masa kerja A bekerja
di PT X adalah selama 8 tahun 9 bulan. Akhir bulan lalu A tertangkap tangan
telah mencuri barang milik perusahaan. Akhirnya diputuskan A harus di PHK
karena melakukan kesalahan berat.
Adapun hak yang
diperoleh A dari PT X saat itu adalah uang penggantian hak yang sesuai
dengan Pasal 161 ayat (3) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 dan uang pisah
berdasarkan ketentuan pasal 158 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003.
Dari ketentuan
yang telah ditetapkan oleh perusahaan X, maka A berhak menerima uang pisah
sebesar Rp 1 juta di tambah dengan uang penggantian hak , yaitu penggantian
pengobatan dan perumahan sebesar 15 % x Rp 1 juta = Rp 150.0000. Jadi A
mendapatkan hak karena adanya PHK dengan alasan telah melakukan kesalahan berat
sebesar Rp. 1. 150.000 ditambah penggantian hak lainnya yang belum diterima
(misalnya cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur ; biaya atau ongkos
pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat dimana pekerja/buruh
diterima bekerja ;
Keseluruhan hak
itu tentu saja dapat diberikan oleh pengusaha apabila kesalahan berat yang
dituduhkan kepada pekerja secara formil maupun secara material memang benar.
Bab V
Upaya Hukum Bagi Pekerja yang di PHK Karena Melakukan Kesalahan Berat
Apabila ternyata
pekerja tidak mendapatkan haknya sesuai dengan ketentuan pasal 161 ayat (3) UU
No. 13 Tahun 2003. Sebelum terbentuknya lembaga penyelesaian perselisian
hubungan Industrial, berdasarkan ketentuan UU No. 2 Tahun 2004 lembaga yang
dimaksud adalah Pengadilan hubungan industrial maka dapat dilakukan upaya
administratif atau upaya perdata.
Upaya hukum
melalui upaya administratif, penyelesaiannya dapat melalui: upaya bipartid yang
dilakukan antara pekerja dan pengusaha sebagai pihak yang terikat dalam
hubungan kerja. Apabila perundingan itu berhasil mencapai kesepakatan maka
hasil persetujuan itu mempunyai kekuatan hukum. Tetapi apabila perundingan
tidak mencapai kesepakatan maka dapat minta anjuran ke Dinas Tenaga Kerja
setempat .
Apabila anjuran
dari Dinas Tenaga Kerja tidak diterima oleh salah sat atau kedua belah pihak
maka dapat diajukan ke P4D atau ke P4P. Hal ini dapat diteruskan ke Menteri
Tenaga Kerja guna memohon veto. Veto Menaker didasarkan pada pertimbangan
keamanan dan stabilitas nasional.
Apabila diantara
putusan P4D, atau P4P sudah dapat diterima oleh kedua belah pihak dan mempunyai
kekuatan hukum yang tetap maka dapat dimintakan fiat eksekusi ke Pengadilan
Negeri, supaya putusan itu dapat dijalankan.
Upaya hukum
secara perdata, dapat dilakukan oleh pekerja, apabila putusan pengusaha dalam
menjatuhkan PHK karena efisiensi tidak dapat dibenarkan. Dalam arti belum
dilakukan langkah awal untuk menghindari ehfisiensi jumlah tenaga kerja. Secara
perdata , pekerja dapat mengajukan gugat ganti rugi ke Pengadilan Negeri
berdasarkan pasal 1365 BW yaitu “Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa
kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan
kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.
Sejak adanya UU
No. 2 Tahun 2004 tentang penyelesaian perselisihan hubungan industrial (PPHI),
yang disahkan pada tanggal 4 Januari 2003 (LN. Tahun 2004, no. 6, TLN. No.
4356) upaya hukum bagi pekerja yang mengalami perselisihan hubungan industrial
akan dilakukan secara bipartid, mediasi, konsiliasi, arbitarsi atau ke
pengadilan hubungan industrial.
Bipartid, yaitu
musyawarah antara pekerja dan pengusaha. Apabila tidak tercapai kesepakatan
dengan cara bipartid maka pihak-pihak dapat memilih penyelesaian secara
mediasi, konsiliasi, atau arbitrasi. Apabila pihak-pihak memilih mediasi atau
konsiliasi dan tidak tercapai kesepakatan, maka dapat membawa perkaranya ke
pengadilan hubungan industrial. Apabila pihak-pihak memilih arbitrasi maka
kesepakatan dituangkan dalam akta perdamaian yang merupakan keputusan arbitrasi
dan harus didaftarkan ke Pengadilan Negeri.
Apabila isi
keputusan tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak maka dapat dimohonkan
pembatalannya kepada Mahkamah Agung selambat-lambatnya 30 hari kerja sejak
ditetapkannya putusan arbiter . Permohonan pembatalan dilakukan apabila
mengandung unsur-unsur berdasarka ketentuan pasal 52 ayat (1) UU No.2 Tahun
2004 yaitu :
- Surat
atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui
atau dinyatakan palsu;
- Setelah
putusan diambil ditemukan dokumen yang ebrsifat menentukan, yang
disembunyikan oleh pihak lawan;
- Putusan
diambil dari tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam
pemeriksaan perselisihan;
- Putusan
melampaui kekuasaan arbiter hubungan industrial; atau
- Putusan
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan
ketentuan pasal 126 UU No. 2 Tahun 2004, masa berlakunya adalah satu tahun
sejak diundangkan. Ketentuan ini diundangkan pada tanggal 14 Januari 2004. Jadi
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial ini akan menggantiikan
kedudukan P4D atau P4P sejak tanggal 14 Januari 2005.
Bab VI
Kesimpulan
Setiap
pekerja/buruh yang di PHK oleh majikan karena melakukan kesalahan beratsesuai
dengan ketentuan pasal 158 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003, harus disertai tiga
syarat secara kumulatif. Syarat itu adalah bukti tertangkap tangan, pengakuan
dari pekerja yang bersangkutan dan laporan pengusaha yang didukung 2 orang
saksi.
Apabila keputusan
perusahaan melakukan PHK karena pekerja melakukan kesalahan berat dibenarkan
oleh hukum maka pekerja harus mendapatkan uang penggantian hak dan uang pisah.
Apabila hak
diatas tidak dapat diperoleh oleh pekerja maka pekerja dapat melakukan upaya
penyelesaian hukum secara sukarela melalui bipatrid atau secara wajib yang
didahului lapor ke pegawai perantara untuk mendapatkan anjuran Depnaker
diteruskan ke P4D, P4P atau Hak Veto Menaker untuk dapat dilakukan fiat
eksekusi di Pengadilan Negeri. Apabila tidak dilaksanakan maka dapat banding ke
PTTUN atau cara lainnya dapat dilakukan gugat ganti rugi ke Pengadilan Negeri
berdasarkan pasal 1365 BW.
Apabila pengadilan hubungan industrial yang dibentuk
berdasarkan UU No. 2 Tahun 2004 sudah terbentu maka upaya hukum dapat dilakukan
meliputi upaya bipartid, mediasi, konsiliasi, arbitrasi atau ke kepadilan
hubungan industrial.
DAFTAR
PUSTAKA
Asikin, Zainal,
et.al. 1993, Dasar-dasar hukumperburuhan, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Asri Wijayanti,
2002, “ Perlindungan Hukum bagi Buruh yang di PHK di Perusahaan Swasta”, Prespektif
Hukum, Jurnal Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Hang Tuah, vol.2 no. 2.
-------, 2003,
Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Diktat Kuliah Hukum Ketenagakerjaan,
Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya.
Bruggink, JJH,
alih bahasa Arief Sidharta, 1996, Refleksi tentang hukum, Citra Aditya
Bakti, Bandung.
Djumadi, 1995, Perjanjian
Kerja Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja, Raja Grafindo Perkasa,
Banjarmasin.
Djumialdji, FX,
dan Soejono, Wiwoho, 1987, Perjanjian Perburuhan dan Hubungan Perburuhan
Pancasila, PT. Bina Aksara, Jakarta.
Halim, A Ridwan
dan Gultom, Sri Subiandini, 1987, Sari Hukum Perburuhan Aktual, Pradnya
Paramita, Jakarta.
Hartono Widodo
dan Judiantoro, 1992, Segi Hukum Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, Rajawali
Pers, Jakarta.
Iman Soepomo,
1974, Pengantar HukumPerburuhan, Djambatan, Jakarta.
-------,1994, Hukum
Perburuhan buidang hubungan kerja, Djambatan , Jakarta.
Kartasapoetra, G,
1992, Hukum Perburuhan di Indonesia Berdasarkan Pancasila, Sinar
Grafindo, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar